Rapat Kerja BP 4 di Semarang

on Selasa, 14 Desember 2010
Dalam rangka menindaklanjuti MUSDA BP 4 Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 dan menentukan arah kebijakan dalam mereposikan Program BP 4 kedepan sebagai Mitra Kementerian Agama yang mandiri dan profesional, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah menyelenggarakan Rapat Koordinasi antar Instansi terkait Bidang Urusan Agama Islam yang terkait dengan BP 4 pada tanggal 9 desember 2010 bertempat di Hotel  Muria Semarang.
Tujuan rapat :
Untuk mengembangkan Komitmen terhadap segala persoalan perkawinan dan keluarga yang muncul di masyarakat
Rapat ini diikuti oleh 50 orang Pengurus Yang Terdiri dari berbagai Instansi terkait.

Selamat Datang Bapak Kepala Bidang Urais

on Senin, 13 Desember 2010
Bapak Kepala Bidang Urais, Bapak Drs. H. Mawardi, M.M sedang memberikan sambutan dalam acara Sosialisasi Undang - undang Perkawinan.

BP 4 PROVINSI JAWA TENGAH: Rapat Kerja BP 4 di Semarang

BP 4 PROVINSI JAWA TENGAH: Rapat Kerja BP 4 di Semarang

Rapat Kerja BP 4 di Semarang

Rapat Kerja BP 4 dengan Instansi terkait
Pada tanggal 9 Desember 2010 bertempat di Hotel Muria Semarang, diadakan Rapat Kerja Pengurus BP 4 Provinsi Jawa Tengah dengan Instansi Terkait.
Acara Dihadiri oleh Ketua BP 4 Provinsi Jawa Tengah, beserta seluruh pengurus dan Undangan dari Instansi terkait. Dalam acara tersebut dibahas Program Kerja BP 4 masa bakti 2009 - 2012.

Keluarga pondasi pertama

on Minggu, 24 Oktober 2010
Artikel Keluarga Sakinah
KELUARGA PONDASI PERTAMA
Jumat, 02 Juli 10

Keluarga merupakan sebuah pilar dari tatanan bagi kaidah dasar masyarakat muslim, kaidah ini di mana Islam menaunginya dengan perhatian yang besar, menatanya melindunginya dan membersihkannya dari nilai-nilai jahiliyah terserak di berbagai surat al-Qur`an, diliputi dengan segala faktor penunjang yang diperlukan untuk menegakkan kaidah dasar besar ini.

Tatanan sosial Islam adalah tatanan keluarga, karena ia merupakan tatanan rabbani bagi manusia, seluruh kekhususan fitrah insaniyah, hajat-hajat dan penunjang-penunjangnya begitu diperhatikan, tatanan keluarga dalam Islam terpancar dari mata air fitrah dan dasar penciptaan, dan meruapakan kaidah pembentuk pertama bagi makhluk semuanya.

Fitrah ini terlihat jelas dalam firmanNya Taala, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat: 49)

Dan firmanNya, “Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yasin: 36).

Padangan Islam kepada manusia hadir fase demi fase, Islam menyinggung jiwa pertama yang menjadi asal-usul bagi pasangan laki-laki dan perempuan kemudian anak cucu kemudian seluruh manusia.

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-Nisa`: 1).

Kemudian membuka ketertarikan fitrah di antara kedua jenis bukan untuk sekdar menggabungkan antara laki-laki dan perempuan akan tetapi untuk mengarahkan kepada penegakan keluarga dan rumah, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21).

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 223).

Fitrah bekerja, keluarga merespon fitrah yang mendalam ini pada dasar alam dan pada bangunan manusia. Dari sini maka tatanan keluarga dalam Islam adalah tatanan alami fitri yang terpancar dari dasar pembentukan insani bahwa dari dasar pembentukan segala sesuatu seluruhnya di alam ini sesuai dengan metode Islam dalam mengaitkan tatanan yang ditegakkannya bagi manusia dengan tatanan yang Allah tegakkan untuk alam seluruhnya di mana manusia adalah salah satunya.

Keluarga adalah sarang alami yang menjaga dan memelihara anak-anak yang tumbuh, mengembangkan jasad, akal dan ruhnya, dalam naungannya dia menerima perasaan cinta, kasih dan kebersamaan dan terbentuk dengan tabiat yang mengiringinya sepanjang hidup, di atas petunjuk dan cahayanya dia melek untuk hidup, mengungkap hidup dan berinteraksi dengan hidup. Masa kanak-kanak bagi anak manusia adalah yang terpanjang, masa ini berlangsung lebih lama dibanding masa kanak-kanak dari makhluk hidup yang lain.

Hal itu karena fase kanak-kanak adalah fase persiapan, penyiapan, pelatihan bagi peran yang dituntut dari setiap makhluk hidup yang tetap hidup. Manakala tugas manusia adalah tugas terbesar dan perannya di bumi adalah peran terbesar maka masa kanak-kanaknya berlangsung lebih panjang agar kesiapan dan pelatihan terswujud dengan baik demi masa depannya.

Dari sini maka hajatnya untuk selalu berada di samping bapak ibunya lebih mendesak daripada hajat anak dari makhluk hidup yang lain dan keluarga yang stabil lagi tenang lebih dekat kepada tatanan insani dan lebih terkait erat dengan fitrah manusia, pembentukan dan perannya dalam hidup ini.

Pengalaman empiris membuktikan bahwa perangkat lain selain perangkat keluarga tidak menggantikannya, tidak mengambil posisiya, tidak terbebas dari dampak negatif dan kerusakan dalam pembentukan dan pendidikan anak-anak.

Dari sini kita melihat tatanan sosial Islam di mana dengannya Allah ingin kaum muslimin masuk ke dalam kedamaian dan menikmati kedamaian menyeluruh di bawah payungnya, berdiri di atas dasar keluarga, memberikan perhatian yang selaras dengan perannya yang besar. Dari sini kita menemukan dalam beberapa surat al-Qur`an al-Karim tatanan-tatanan qur`ani bagi segi-segi dan faktor-faktor yang menjadi pijakan bagi tatanan yang kokoh lagi kuat ini.

Islam menegakkan tatanan keluarga di atas dasar yang kuat, cermat dan realistis, pada saat yang sama Islam mendirikan bangunan masyarakat di atas kaidah hakiki yang kuat dengan kandungan kebenarannya dan kesesuaiannya dengan realita fitrah yang mendalam. Tatanan apapun yang menutup mata dari hakikat alami keluarga merupakan tatanan yang gagal, lemah, berpondasi ringkih tidak mungkin hidup mulia, tenang dan damai. Islam memperhatikan perlindungan terhadap keluarga dan ikatan-ikatannya dari semua syubhat dan penyusup yang merusak, memagarinya dengan seluruh sebab-sebab keselamatan, kelurusan, kekuatan dan ketegaran agar ia menjadi pondasi bagi berdirinya masyarakat yang bersih, steril, luhur dan saling mendukung.

Al-Qur`an membangun keluarga untuk membentuk darinya sebuah masyarakat yang berdiri di atas amanat agama Allah di muka bumi dan manhajnya dalam hidup serta tatananNya pada manusia, tidak ada jalam melainkan membangun jiwa-jiwanya sebagai pribadi, membangunnya sebagai jamaah dan membangunnya sebagai faktor riil, semuanya pada saat yang sama.

Seorang muslim tidak membangun satu pribadi kecuali dalam jamaah, Islam tidak dibayangkan berdiri kecuali dalam lingkaran dan tujuan sosial di mana pada saat yang sama tersemat di pundak masing-masing anggotanya tugas menegakkan manhaj rabbani ini di dalam jiwa dan di dalam perilaku disertai penegakkannya di bumi dan ia tidak tegak di bumi kecuali dalam sebuah masyarakat, ia tidak tegak dalam sebuah masyarakat kecuali dalam keluarga yang hidup, bergerak, bekerja dalam koridor manhaj ilahi tersebut.

Oleh karena itu Islam memperhatikan penataan terhadap urusan-urusan keluarga, dan menegakkannya di atas dasar yang kokoh, sejalan dengan tuntutan fitrah, membentenginya dari pengaruh hal-hal buruk yang menyusup ke dalam iklim kehidupan keluarga, membentenginya sekaligus membentengi masyarakat bersamanya dari mewabahnya perbuatan-perbuatan kotor dan praktek-praktek haram serta perkara-perkara yang melemahkan ikatan keluarga Islam menegakkan tatanannya bagi keluarga di atas kaidah-kaidah fitrah, ia memandang tema ini penting dan mendasar di mana penataannya berakibat mengalirnya kehidupan manusia di atas jalurnya yang fitri, tenang dan baik sebagaimana penyimpangannya menyeret kerusakan besar di bumi.

Islam telah menentukan cara di mana Allah ingin kaum laki-laki dan perempuan bersatu di atasnya dalam bangunan keluarga yang bersih dan mengandung kemudahan dan keringanan serta kesucian. Ia menetapkan kaidah-kaidah sebagai aturan main yang mendasari bangunan dasar tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ada di pundak kedua belah pihak yang berikrar di dalamnya.

Termasuk yang patut diperhatikan, bahwa al-Qur`an mengikat dengan cermat tatanan-tatanan dan hukum-hukum ini dengan dasar pertama yang besar bagi iman yaitu bahwa hanya Dia yang patut di sembah dan bahwa tatanan-tatanan dan hkum-hukum berasal dariNya dan ini merupakan tuntutan uluhiyahNya.

Perkara lain yang ditegaskan dan diulang-ulang al-Qur`an adalah bahwa manhaj Allah ini lebih mudah, lebih ringan bagi manusia dan lebih dekat kepada fitrah daripada manhaj-manhaj yang diinginkan dan dimaui oleh manusia, bahwa termasuk rahmat Allah kepada manusia yang lemah di saat Dia mensyariatkan manhaj ini, menyimpang darinya dijamin sengsara dan nestapa lebih dari itu kerendahan dan kehinaan. Kita melihat bukti dari hakikat ini pada realita historis manusia, hakikat yang jelas di dunia nyata kalau hawa nafsu tidak menutupi hati dan membutakan mata pada saat jahiliyah menebarkan penutup kepada hati dan kabut kepada mata yang menghalangi dari hakikat. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)
Hit : 586 | Index | kirim ke teman | versi cetak  <!-- --- FOOTER mulai --->
 
 

Melajang enak yang tidak enak

Artikel Keluarga Sakinah
MELAJANG, ENAK YANG TIDAK ENAK
Rabu, 20 Oktober 10

Sunnatullah menetapkan bahwa kehidupan itu berpasangan, hal ini berlaku general, betina dengan jantan, wanita dengan laki-laki dan Hawa dengan Adam. Pada alam selain manusia, penyatuan dua pasangan ini berjalan alamiah, natural tanpa ikatan syarat tertentu, hal ini berbeda dengan alam manusia yang untuk menyatukan pasangan, wanita dengan pria dibutuhkan sebuah ikatan mulia lagi agung, yaitu pernikahan.

Pertanyaan selanjtunya, lalu bagaimana bila seseorang tidak menemukan pasangannya? Atau memang tidak berhasrat untuk hidup berpasangan? Ada yang bilang, “Kasihan dia.” Namun ada juga yang menjawab, “Santai saja.” Apa pun jawabannya, kita tidak pungkiri bahwa gaya hidup melajang ini oleh sebagian orang sengaja dipilih sebagai jalan yang akan dia lakoni. Sah saja kalau memang bisa menikmatinya, plus yang tidak kalah pentingnya, mampu menahan godaan sehingga tidak terjerumus ke dalam lubang haram, sekalipun paling tidak hal itu menyelisihi yang lebih utama.

Dalam tataran kasuistik, melajang tidak perlu dirisaukan, karena namanya saja kasus, bilangannya tidak berbanding dengan sebaliknya, akan tetapi saat gaya hidup ini meningkat menjadi sebuah fenomena, bahkan dianggap sebagai jalan yang benar dengan seribu macam alasan, maka hal ini yang patut diperhatikan. Ada apa? Apakah manusia tidak lagi membutuhkan pasangan hidup yang legal dari sisi Agama? Apa mungkin sisi kebutuhan ini sudah tercover dengan pasangan hidup ala cinta satu malam? Yang kedua inilah yang kita khawatirkan, karena hal itu sama saja dengan menyuburkan hubungan haram yang menelorkan banyak malapetaka kehidupan.

Dari satu sisi, kehidupan melajang adalah hak pribadi seseorang, karena menikah sendiri adalah sunnah bagi pihak yang mampu namun tidak khawatir berzina, tetapi di sisi lain, seseorang tidak sebatas hanya sebagai pribadi, karena ia ada dan hidup bersama pribadi lain di sebuah komunitas masyarakat, ma fi musykilah tidak masalah bila gaya hidup melajang ini masih tetap dalam tataran pribadi sebagi sebuah hak pilihan pribadi tanpa diiklankan dan diupayakan untuk mempengaruhi orang lain, lain perkara bila gaya hidup ini kemudian diekspos, digembar-gemborkan, dikampanyekan sehingga ia mulai memiliki banyak simpatisan dan pengikut, bisa-bisa nanti akan lahir masyarakat bujangan. Waduh, repot deh.

Yang kedua inilah yang perlu disikapi dengan hati-hati, namanya juga kampanye dan iklan, pasti dikemas semenarik mungkin dengan logika yang sekilas logis. “Gak usah memelihara kambing kalau hanya ingin makan sate, yang jual banyak, bahkan lebih variatif.” Begitu sebagian pemuja gaya hidup ini berkilah.

Hidup lepas tanpa aturan suami istri yang dianggap mengekang, barang kali sisi ‘enaknya’ melajang, tetapi bukankah enak atau tak enak itu kembali kepada bagaimana kita ngejalaninya? So, tidak selamanya alasan tersebut benar, dalam arti lepas dari ikatan suami istri tidak otomatis nikmat, kalau memang nikmat, maka ia nikmat di sebagian kecil sisi hidup, sisanya adalah sebaliknya.

Bila direnungkan, hanya kata ‘bebas’ yang menjadi magnet kuat yang menyedot sebagian kalangan untuk memilih melajang, ingin menikmati kesendirian lebih lama demi sebuah kepuasan pribadi, namun resikonya ada sisi lain yang juga berdampak terhadap dirinya dalam bentuk keharusan memendam ketertarikan kepada lawan jenis atau mengalihkan rasa ini ke arah yang syar’i. Rasanya kebebasan yang merupakan ‘nilai plus’ dalam membujang tidak berbanding dengan beratnya memendam ketertarikan tersebut yang bila jebol maka ia akan tertumpah ke lorong setan.

Bukan persoalan kalau melajang dengan alasan karena belum mampu, tetapi bila kemampuan tersebut sudah di tangan, bukankah ini menutup peluang dan harapan orang lain untuk menjadi pendamping hidupnya? Maka kepada siapa yang telah mampu dan lebih tertarik kepada godaan melajang, maka tidak ada salahnya merenungkan sabda Nabi saw,

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah maka hendaknya dia menikah, karena ia lebih menahan pandangan dan lebih memelihara kehormatan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi.

Melajang, apa pun alasannya, adalah ketidakmampuan, orang yang memilih gaya hidup ini hanya bisa bertahan, defensif, sebaliknya menikah adalah kemampuan, jalan baik ini mampu melakukan dan mencetak banyak hal mulia di muka bumi ini: kebahagiaan, ketenteraman, kasih sayang, hubungan yang syar’i, anak-anak peramai bumi dan penerus keturunan. Lalu apa yang dilakukan oleh melajang? Hanya satu kebebasan, keenakan yang tak enak. Wallahu a’alm.
Hit : 50 | Index | kirim ke teman | versi cetak  <!-- --- FOOTER mulai --->

on Senin, 04 Oktober 2010

artikel BP 4

on Minggu, 03 Oktober 2010
POLA PENASIHATAN KELUARGA BERMASALAH:
PERANAN MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF*
Oleh
Wahyu Widiana**
PENDAHULUAN
Keluarga sakinah yang penuh mawaddah dan rahmah merupakan dambaan setiap orang. Keluarga sakinah dapat dibangun jika setiap unsur keluarga, terutama suami dan isteri, memahami tujuan perkawinan dan mengerjakan hak dan kewajiban masing-masing. Mereka saling cinta mencintai, hormat menghormati dan saling membantu lahir maupun batin. Mereka saling memahami dan menghargai kedudukan dan fungsi masing-masing. Jika ini semua berjalan baik, maka keluarga bahagia yang tenteram, penuh cinta dan kasih sayang, akan secara otomatis terbentuk dalam keluarga mereka.
Persoalannya, jika setiap unsur dalam keluarga terutama suami dan isteri tidak memahami dan melaksanakan semua itu dengan baik, maka jadilah keluarga mereka sebagai keluarga yang bermasalah, penuh fitnah, penuh prasangka, tidak harmonis, dan akhirnya keluarga itu tidak dapat dipertahankan kelangsungannya.
Memang, tidak pernah ada keluarga yang tanpa perselisihan dan perbedaan. Itu sangat manusiawi. Oleh karena itu faktor penasihatan menjadi sangat penting dalam rangka mengembalikan keluarga kepada rel yang semestinya.
Dalam makalah singkat ini penulis ingin mengemukakan peran lembaga mediasi sebagai salah satu alternative pola penasihatan dalam menangani keluarga yang bermasalah.
--------------
* Makalah disampaikan pada Rakernas BP4, 15 Agustus 2006, di Jakarta
** Adalah Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung RI
KELUARGA BERMASALAH
Mengetahui berapa jumlah keluarga yang bermasalah dan sebab-sebabnya sangatlah penting untuk menentukan suatu pola penasihatan sebagai usaha untuk mengatasinya. Oleh
2
karena itu, penulis dalam bagian ini mencoba mengemukakan data yang berhubungan dengan jumlah dan sebab-sebab yang menjadi masalah. Kita sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti data keluarga bermasalah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tidak semua keluarga bermasalah dapat dicatat -apalagi melaporkannya, sebab tidak ada kewajiban untuk itu-bahkan penasihatan yang dilakukan oleh berbagai lembagapun sangat sulit didata berapa jumlahnya. Namun demikian, data yang tercatat dari Pengadilan Agama (PA) se Indonesia dari tahun ke tahun dapat memberi gambaran tentang jumlah keluarga bermasalah di Indonesia. Berikut adalah tabel jumlah perkara yang diputus oleh PA se Indonesia dalam 5 tahun terakhir, yang penulis rekap dari buku Statistik Perkara yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, sebelum 2005, dan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung sejak tahun 2005. JUMLAH PERKARA YANG DIPUTUS PENGADILAN AGAMA SE INDONESIA ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- Tahun Cerai Cerai Jumlah Perkara Jumlah Prkr Talak Gugat Prkr.Cerai Lain Yg Diputus 2001 61.593 83.319 144.912 14.387 159.299 2002 58.153 85.737 143.890 13.441 157.331 2003 52.360 80.946 133.306 12.287 145.593 2004 53.509 87.731 141.240 13.091 154.331 2005 55.536 94.859 150.395 14.847 165.242 Jumlah 281.151 432.592 713.743 68.053 781.796 Rata2/tahun 56.230 86.518 142.749 13.611 156.359 -------------------------------------------------------------------------------------------------------- Dari tabel di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Jumlah keluarga bermasalah yang diputus cerai di PA setiap tahun relative tetap, yaitu rata-rata sekitar 143.000. Jika peristiwa nikah setiap tahun sekitar 2 juta, maka yang cerai mencapai 7 %.
2. Mayoritas perkara di PA adalah perkara mengenai keluarga bermasalah. Setiap tahun rata-rata sekitar 91 % dari jumlah semua jenis perkara.
3
3. Jumlah perkara cerai gugat (permohonan cerai diajukan isteri) setiap tahun selalu lebih besar dari jumlah perkara cerai talak (permohonan cerai diajukan suami). Jumlah cerai gugat dalam 5 tahun terakhir ini, rata-rata 1,5 kali jumlah cerai talak. Ini, secara sederhana, dapat diartikan bahwa pihak isterilah yang lebih banyak sebagai “korban” dalam keluarga bermasalah, sehingga karena pengaruh maraknya sosialisasi persamaan jender, maka pihak isteri tidak segan-segan lagi untuk mengajukan gugat cerai ke pengadilan. Dalam praktek, walaupun dalam perkara gugat talak, yang mengajukan permohonan itu suami, tidak sedikit bahwa penyebab masalah itu justru suami sendiri.
Faktor penyebab perceraian dari keluarga bermasalah bermacam-macam. Sering kali permasalahan dalam keluarga disebabkan tidak oleh satu faktor saja, namun dapat karena 2, 3 atau banyak factor. Untuk mendapatkan gambaran, dari 150.395 perkara perceraian yang diputus oleh PA se Indonesia tahun 2005, dapat dicatat factor-faktor dominan terjadinya perceraian, secara urut, sebagai berikut: (1) Tidak ada keharmonisan sebagai kumulasi berbagai factor, 56.064 perkara, (2) Tidak ada tanggung jawab, 46.723, (3) Ekonomi, 24.251, (4) Gangguan pihak ketiga, 9.071, (5) Moral, 4.916, (6) Cemburu, 4.708, (7) Kawin Paksa, 1.692, (8) Penganiayaan, 916, (9) Poligami tidak sehat, 879, (10) Cacat biologis, 581, (11) Kawin di bawah umur, 284, (12) Politik, 157, (13) Dipidana, 153. Untuk mengklasifikasi faktor-faktor penyebab perceraian tidaklah mudah. Sering kali antara satu faktor dengan factor lainnya sulit dibedakan, atau dapat disatu kelompokkan. Bahkan banyak orang berpendapat, faktor perceraian itu hanyalah satu, yaitu pecahnya hati antara suami isteri (broken marriage). Apapun penyebab masalah, kalau hati tidak pecah, maka perkawinan akan tetap lestari. Disinilah pentingnya penasihatan. Namun demikian, mengetahui faktor-faktor penyebab keretakan rumah tangga secara spesifik sangatlah penting, juga untuk kepentingan penasihatan Berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, penasihatan di pengadilan selalu diusahakan di tiap kali persidangan. Bahkan, pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara pribadi, tidak boleh diwakilkan (UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, pasal 82). Hakim sebelum memeriksa perkaranya lebih lanjut wajib berusaha mendamaikannya, dengan memberi nasihat-nasihat. Namun karena keadaan hubungan suami isteri yang masuk pengadilan sudah sangat parah –hati mereka sudah pecah-, maka usaha penasihatan tidak banyak membawa hasil. Sebagai gambaran, dari perkara yang masuk tahun 2005 sejumlah 175.133, secara nasional, dicabut 9.188 atau sekitar 5 %. Perkara yang dicabut ini pada umumnya karena suami isteri berhasil didamaikan, setelah terlebih dahulu diberikan penasihatan.
4
POLA PENASIHATAN KELUARGA BERMASALAH Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan -biasanya seorang tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan- atau oleh lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majlis hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan. Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun demikian, penasihatan di luar pengadilan sangat tergantung kepada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung kepada tingkat “kewibawaan” para penasihat, baik perorangan maupun lembaga. Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahan tidak dapat dipecahkan dan suami-isteri tidak dapat didamaikan.
Sementara itu, penasihatan di pengadilan sangat dibatasi waktu, tempat dan ketentuan-ketentuan beracara, sehingga permasalahan tidak dapat digali sebanyak permasalahan yang dilakukan pada penasihatan di luar pengadilan. Demikian pula pemecahannyapun. Pendek kata, penasihatan di depan sidang pengadilan lebih banyak untuk memenuhi ketentuan formil dan sangat sulit dapat dikembangkan sebagaimana penasihatan di luar pengadilan. Apa lagi pasangan suami isteri yang datang ke pengadilan, pada umumnya, adalah pasangan yang membawa permasalahan keluarga yang sangat berat, sudah patah arang. Memang demikian, karena sidang pengadilan pada dasarnya bukanlah merupakan lembaga penasihatan, namun ia adalah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, yang dalam kegiatannya berfungsi juga untuk melakukan penasihatan sebelum memeriksa lebih jauh perkara yang diajukan dan memutus perkara jika tidak ada kesepakatan damai di antara para pihak. Hasil penasihatan –berupa kesepakatan untuk damai atau tidak ada kesepakatan apa-apa- dapat langsung dijadikan dasar oleh majlis hakim untuk melakukan proses hukum selanjutnya: pembuatan akte perdamaian atau pemeriksaan perkara sesuai permohonan atau gugatan.
5
Kelemahan secara keseluruhan dari pola penasihatan yang ada dewasa ini adalah tidak ada keterkaitan hukum yang kuat antara penasihatan di luar dan di dalam pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan bukan atas perintah atau rekomendasi majlis pengadilan. Sehingga hasilnyapun, jika dibawa ke pengadilan, bukan merupakan rekomendasi yang kuat yang langsung dapat diterima oleh majlis hakim. Majlis hakim harus melakukan proses dari awal lagi, walaupun yang berperkara telah melalui proses penasihatan di luar pengadilan. Dengan kata lain, penasihatan-penasihatan di pengadilan tetap dilakukan sesuai hukum acara yang berlaku. Pola penasihatan seperti di atas, tidak menguntungkan kepada pencari keadilan atau kepada sistem penasihatan itu sendiri. Salah satu penyebab dari kelemahan pola selama ini adalah belum ada ketentuan tehnis beracara yang dapat dijadikan pedoman oleh pengadilan, sehingga seringkali terjadi adanya hubungan yang kurang mesra antara Kantor Departemen Agama dengan Pengadilan Agama. Contoh kekurang-mesraan tersebut antara lain akibat adanya perbedaan penafsiran atas Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah Dan Tata Kerja Pengadilan Agama Dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam. Sebagian petugas di Kantor Departemen Agama memandang bahwa berdasarkan peraturan Menteri tersebut, semua pasangan suami-isteri yang akan berperkara di PA harus melalui penasihatan BP4 terlebih dahulu. Demikian pula, perselisihan suami-isteri yang sedang ditangani oleh BP4 hendaknya diselesaikan terlebih dahulu di BP4 sebelum dibawa ke pengadilan. Seakan-akan, kalau belum tuntas di BP4, pasangan suami isteri tidak boleh langsung ke PA. Sementara petugas PA memandang bahwa pengadilan tidak boleh menolak menerima perkara yang menjadi kewenangannya, yang diajukan oleh pencari keadilan, dengan alasan sedang dalam proses penasihatan BP4, sebab hal itu melanggar undang-undang.
Sebenarnya, kalau kedua belah pihak memahami tugas dan kewenangannya masing-masing, serta saling hormat menghormati atas tugas dan kewenangan pihak lainnya, maka “kemesraan” antara dua instansi ini tidak akan terganggu. Bunyi Pasal 28, ayat (3) Peraturan Menteri tersebut adalah: “Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada Badan Penasehatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat, agar kepada suami isteri dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga;” . Ketentuan ini harus difahami bahwa untuk kepentingan suami-isteri yang ditimpa masalah, maka PA dapat meminta bantuan BP4 -bukan suatu kewajiban- untuk menasihati suami isteri tersebut. Dalam praktek, seringkali
6
pencari keadilan langsung mendaftarkan ke PA tanpa melalui BP4, mungkin karena tidak mengetahui adanya BP4 dan manfaat penasihatannya, atau mungkin merasa tidak ada kewajiban untuk mendatangi BP4 terlebih dahulu, atau mungkin merasa kurang ada manfaat dari penasihatan BP4. Pengadilan berdasarkan hukum acara yang berlaku memang tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh pencari keadilan tersebut. Pengadilan setelah tidak berhasil mendamaikan yang berperkara pada sidang pertama, dapat saja, menyarankan agar para pihak mendatangi lembaga konsultasi keluarga, seperti BP4, untuk mendapatkan penasihatan terlebih dahulu sebelum pemeriksaan perkara dilanjutkan. Namun, mungkin selama ini, atas pertimbangan banyak hal, majlis hakim memandang bahwa jika hal itu dilakukan maka proses peradilan yang ditentukan oleh undang-undang harus berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, akan terhambat. Majlis hakim merasa tidak ada kewajiban untuk menyarankan atau memerintahkan agar yang berperkara terlebih dahulu harus ditangani oleh lembaga penasihatan dan sejenisnya. MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF. Memperhatikan pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia yang terjadi selama ini sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pola tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan. Kini, permasalahan tersebut di atas mulai terbuka untuk dapat diatasi. Pola penasihatan di luar pengadilan, yang sama sekali tidak berkaitan dengan pengadilan, dapat terus berlangsung, bahkan ditingkatkan kualitas dan kuantitas penasihatannya. Unsur pokok dan penunjang penasihatan, seperti sumber daya manusia, anggaran, sarana prasarana, metode, pemasyarakatan dan lainnya perlu mendapatkan perhatian dari pihak yang berwenang. Sementara itu, pola penasihatan di dalam pengadilan dapat dikembangkan menjadi pola baru dengan memanfaatkan penasihatan dari luar pengadilan. Dengan kata lain, pola yang mengintegrasikan penasihatan di luar majlis pengadilan ke dalam proses beracara di pengadilan dapat diterapkan dengan menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangannya serta penunjang lainnya yang diperlukan. Pola yang dimaksud adalah penyelesaian perkara melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dapat dijadikan pedoman pengembangan pola penasihatan bagi keluarga bermasalah yang perkaranya masuk ke Pengadilan Agama. Sebetulnya PERMA ini pada
7
dasarnya diperuntukan bagi lingkungan peradilan umum, namun dapat pula dipakai oleh lingkungan peradilan agama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 -PERMA ini terdiri dari 18 pasal- yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: “Apabila dipandang perlu ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, selain dipergunakan dalam lingkungan peradilan umum, dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya”. Kini di lingkungan peradilan agama, sedang terus dikaji pemanfaatan lembaga mediasi ini dan sedang dibahas penyusunan pedoman mediasi, khusus untuk lingkungan peradilan agama. Sebagai gambaran, berikut adalah beberapa catatan atau ketentuan yang diambil dari PERMA tersebut:
1. PERMA ini dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan peradilan yang cepat dan murah serta memberikan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa.
2. Menjadikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama.
3. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
4. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang membantu para pihak menyelesaikan perkaranya. Mediator dapat berasal dari kalangan hakim dan pegawai lainnya pada pengadilan, atau berasal dari luar pengadilan. Untuk menjadi mediator, seseorang harus mendapatkan sertifikat diklat mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
5. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Kewajiban ini disampaikan pada hari sidang pertama. Hakim wajib memberikan penjelasan tentang prosedur dan biaya mediasi.
6. Satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak harus sepakat menunjuk mediator, dari dalam atau luar pengadilan, kalau tidak, ketua majlis berwenang menunjuk mediator. Hakim yang memeriksa suatu perkara dilarang menjadi mediator bagi perkara yang bersangkutan.
7. Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator.
8. Proses mediasi berlangsung paling lama 22 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan mediator.
9. Atas persetujuan para pihak, mediator dapat mengundang ahli dalam bidang tertentu.
10. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, kesepakatan itu harus tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak. Dalam kesepakatan itu harus mencantumkan klausula pencabutan perkara. Pada hari sidang yang ditentukan hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akte perdamaian.
8
11. Jika mediasi gagal memperolah kesepakatan, mediator wajib menyatakannya secara tertulis dan melaporkannya kepada hakim. Lalu hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai Hukum Acara yang berlaku.
12. Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara selanjutnya. Fotokopi dokumen, notulen dan catatan mediator wajib dimusnahkan. Mediator tidak dapat diminta kembali menjadi saksi proses selanjutnya.
13. Tempat mediasi adalah di pengadilan atau tempat lain berdasarkan kesepakatan.
14. Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya. Sedangkan biaya mediator yang bukan hakim ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan, kecuali bagi para pihak yang tidak mampu.
Bagi lingkungan peradilan agama, pada prinsipnya, penerapan mediasi harus dapat diterima dan dikembangkan. Hal ini sangat sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Islam, baik yang tercantum dalam Al Qur’an, Al Hadits maupun tradisi dalam Islam yang memerintahkan untuk mengutamakan perdamaian dan kesepakatan dalam segala hal, kecuali kesepakatan untuk menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Namun dalam penerapannya, perlu diperhatikan dan dibuatkan rambu-rambu agar ada jaminan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, serta untuk mewujudkan rasa keadilan bagi para pihak pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya. Proses penyelesaian perkara keluarga bermasalah melalui perdamaian dengan menerapkan lembaga mediasi, yang ditunjang dengan sistem manajemen yang baik, akan memperoleh hasil yang baik. Penyiapan unsur manajemen, seperti men, money, materials, methods dan lainnya, perlu dilakukan sebaik-baiknya, sehingga sistem baru ini tidak menjadi kontra produktif. Kajian-kajian terhadap sistem ini perlu dilakukan. Memang, di negara maju, seperti di Australia, pemanfaatan lembaga mediasi dalam pola penasihatan dan penyelesaian perkara di Family Court, dinilai berhasil dengan baik. Di sana, perkara-perkara yang masuk ke pengadilan dapat difilter dan diselesaikan melalui lembaga mediasi, sehingga perdamaian dan kesepakatan di antara kedua pihak banyak berhasil diwujudkan, bahkan jumlah perkara yang sampai ke majlis hakim, jauh lebih sedikit dibanding jumlah perkara yang didaftar masuk pengadilan. Namun demikian, sistem di sana belum tentu cocok jika sistem itu diterapkan di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sangat menentukan.
9
PENUTUP Pola baru penasihatan keluarga bermasalah yang dapat dikembangkan di Indonesia perlu terus dikaji dan diuji kehandalannya. Sementara kita menggunakan dan menyempurnakan pola lama, pola baru ini perlu mendapat perhatian yang serius, terutama dari BP4 yang sudah sangat berpengalaman dan dikenal sebagai lembaga penasihatan perkawinan terkemuka di Indonesia. Hakikat dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah apa yang dikehendaki oleh Menteri Agama dan jajarannya sejak sekian puluh tahun yang lalu. Hakikat apa yang dikehendaki adalah bahwa peranan penasihatan yang dilakukan oleh lembaga profesional di luar pengadilan –dalam hal ini BP4- dapat diperbesar, sehingga jumlah keluarga yang pecah dapat diminimalisir sebanyak mungkin. Kini, kemungkinan untuk memberi peran yang lebih besar kepada BP4 dalam penasihatan, pembinaan dan pelestarian perkawinan, khusus bagi pasangan yang telah mengajukan perkaranya ke pengadilan, telah dibuka lebar-lebar oleh Peraturan Mahkamah Agung di atas. Ini merupakan tantangan, sekaligus peluang yang sangat besar bagi BP4. Saran penulis, kiranya tantangan dan peluang ini dapat ditangkap dan ditindak lanjuti –walaupun sudah agak terlambat- dengan mengadakan kontak untuk melakukan dialog, diskusi, dan kajian dengan Mahkamah Agung, khususnya dengan Ketua Muda Agama dan jajaran peradilan agama, sehingga terwujud prosedur mediasi di lingkungan peradilan agama yang dapat membantu penyelesaian perkara keluarga, secara sederhana, cepat dan biaya ringan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Mudah-mudahan makalah sederhana ini ada manfaatnya.

Poligami dalam Islam

on Rabu, 29 September 2010
HUKUM POLIGAMI
Syaikh bin Baz mengatakan [Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz] :
Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firmanNya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3]
Dan praktek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (sembilan istri) adalah khusus bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari empat istri. Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak, tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan.
Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3]
TAFSIR AYAT POLIGAMI
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]
Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa : 129]
Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adail itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan ?
Mengenai hal ini, Syaikh bin Baz mengatakan [Fatawa Mar'ah. 2/62] :
Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa : 129]
Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a: “Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
KERIDHAAN ISTRI TIDAK MENJADI SYARAT DI DALAM PERNIKAHAN KEDUA
Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz : Majalah Al-Arabiyah, edisi 168] :
Jika realitasnya kita sanggup untuk menikah lagi, maka boleh kita menikah lagi untuk yang kedua, ketiga dan keempat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anda untuk menjaga kesucian kehormatan dan pandangan mata anda, jikalau anda memang mampu untuk berlaku adil, sebagai pengamalan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng baginya” [Muttafaq ‘Alaih]
Menikah lebih dari satu juga dapat menyebabkan banyak keturunan, sedangkan Syariat Islam menganjurkan memperbanyak anak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kawinilah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi umat-umat yang lain dengan bilangan kalian pada hari kiamat kelak” [Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban]
Yang dibenarkan agama bagi seorang istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan mengizinkannya. Selanjutnya hendak kita berlaku adil semaksimal mungkin dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap istri-istri kita. Semua hal diatas adalah merupakan bentuk saling tolong menolong di dalam kebaikan dan ketaqwaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman “Dan saling tolong menolong kamu di dalam kebajikan dan taqwa” [Al-Maidah : 2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia suka menolong saudaranya” [Riwayat Imam Muslim]
Anda adalah saudara seiman bagi istri anda, dan istri anda adalah saudara seiman anda. Maka yang benar bagi anda berdua adalah saling tolong menolong di dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang menunaikan keperluan saudaranya, niscaya Allah menunaikan keperluannya”
Akan tetapi keridhaan istri itu bukan syarat di dalam boleh atau tidaknya poligami (menikah lagi), namun keridhaannya itu diperlukan agar hubungan di antara kamu berdua tetap baik.
BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK-ANAK YATIM
Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” [An-Nisa : 3]
Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz, di dalam Majalah Al-Arabiyah, edisi 83]
:
Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya.
Ayat diatas memberikan arahan tentang boleh (disyari’atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada mereka dan pemberian nafkah kepada mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana saat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman “Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik” [Al-Ahzab : 21]
Hanya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah kaum laki-laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu merupakan hukum khusus bagi beliau.
Sumber : Sakinah Pusat

Sebelas Kiat Menata Keluarga Islami

Sebelas Kiat Menata Keluarga Islami

karikatur_familiBagaimanakah wujud keluarga Islami itu? Bayangan anda tentang suami isteri yang bertingkah laku bagai malaikat serta rahmat Allah yang senantiasa melimpahi kebutuhan hidup mereka tentu bukanlah gambaran yang benar. Ajaran Islam sendiri merupakan ajaran yang dirancang bagi manusia yang memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan dan siap diterapkan dalam berbagai keadaan yang menyertai hidup manusia.
Jadi, jika anda menemui goncangan-goncangan yang menyangkut diri anda dalam masalah pribadi, hubungan dengan suami atau isteri dan anak-anak, atau dalam berbagai kondisi yang menyertai keluarga, janganlah anda panik dulu atau merasa dunia hampir kiamat. Sebab, justru dalam momen seperti itulah anda dapat memperlihatkan komitmen sebagai seseorang sebelum dibuktikannya melalui amal kehidupan.
Ada beberapa hal yang patut anda perhatikan dalam upaya menumbuhkan keluarga bahagia menurut ajaran Islam atau dalam menghadapi berbagai persoalan, diantaranya;
1. Fikrah yang jelas
Pemikiran Islami tentang tujuan-tujuan dakwah dan kehidupan keluarga merupakan unsur pentng dalam perkawinan. Ini adalah syarat utama.Keluarga islami bukanlah keluarga yang tenang tanpa gejolak. Bukan pula keluarga yang berjalan di atas ketidakjelasan tujuan sehingga melahirkan kebahagiaan semu. Kalaulah Umar bin Khattab menggebah para pedagang di pasar yang tidak memahami fiqih (perdagangan), maka layak dipandang sebagai sebuah kekeliruan besar seseorang yang menikah namun tak memahami dengan jelas apa hakekat pernikahan dalam Islam dan bagaimana kaitannya dengan kemajuan dakwah.
2. Penyatuan idealisme
Ketika ijab qobul dikumandangkan di depan wali, sebenarnya yang bersatu bukanlah sekedar jasad dua makhluk yang berlainan jenis. Pada detik itu sesungguhnya tengah terjadi pertemuan dua pemikiran, perjumpaan dua tujuan hidup dan perkawinan dua pribadi dengan tingkat keimanan masing-masing. Karena itu, penyatuan pemikiran dan idealisme akan menyempurnakan pertemuan fisik kedua insan.
3. Mengenal karakter pribadi
Kepribadian manusia ditentukan oleh berbagai unsur lingkungan: nilai yang diyakini dan pengaruh sosialisasi perilaku lingkungan terdekat serta lingkungan internal (sifat bawaan) itu sendiri. Mengenal secara jelas karakter pasangan hidup adalah bekal utama dalam upaya penyesuaian, penyeimbangan dan bahkan perbaikan. Satu catatan penting mengenai hal ini ialah anda harus menyediakan kesabaran selama proses pengenalan itu berlangsung, sebab hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
4. Pemeliharaan kasih sayang
Sikap rahmah (kasih sayang) kepada pasangan hidup dan anak-anak merupakan tulang punggung kelangsungan keharmonisan keluarga. Rasulullah SAW menyapa Aisyah dengan panggilan yang memanjakan, dengan gelar yang menyenangkan hati. Bahkan beliau membolehkan seseorang berdiplomasi kepada pasangan hidupnya dalam rangka membangun kasih sayang. Suami atau isteri harus mampu menampilkan sosok diri dan pribadi yang dapat menumbuhkan rasa tenteram, senang kerinduan. Ingat, di atas rasa kasih sayanglah pasangan hidup dapat membagi beban, meredam kemelut dan mengurangi rasa lapar.
5. Kontinuitas tarbiyah
Tarbiyah (pendidikan) merupakan kebutuhan asasi setiap manusia. Para suami yang telah aktif dalam medan dakwah biasanya akan mudah mendapatkan hal ini. Namun, isteri juga memiliki hak yang sama. Penyelenggaraannya merupakan tanggung jawab suami khususnya, kaum lelaki muslim umumnya. Itulah sebabnya Rasulullah SAW meluluskan permintaan ta’lim (pengajaran) para wanita muslimah yang datang kepada beliau. Beliau memberikan kesempatan khusus bagi pembinaan wanita dan kaum ibu (ummahaat). Perbedaan perlakuan tarbiyah antara suami dan isteri akan membuat timpang pasangan itu dan akibatnya tentu kegoncangan rumah tangga.
6 Penataan ekonomi
Turunnya Surat al Ahzab yang berkaitan dengan ultimatum Allah SWT kepada para isteri Nabi SAW, erat kaitannya dengan persoalan ekonomi. Islam dengan tegas telah melimpahkan tanggung jawab nafkah kepada suami, tanpa melarang isteri membantu beban ekonomi suami jika kesempatan dan peluang memang ada, dan tentu selama masih berada dalam batas-batas syari’ah. Ditengah-tengah tanggung jawab dakwahnya, suami harus bekerja keras agar dapat memberikan pelayanan fisik kepada keluarga. Sedangkan qanaah (bersyukur atas seberapa pun hasil yang diperoleh) adalah sikap yang patut ditampilkan isteri. Persoalan-persoalan teknis yang menyangkut pengelolaan ekonomi keluarga dapat dimusyawarahkan dan dibuat kesepakatan antara suami dan isteri. Kebahagiaan dan ketenangan akan lahir jika di atas kesepakatan tersebut dibangun sikap amanah (benar dan jujur).
7. Sikap kekeluargaan
Pernikahan antara dua anak manusia sebenarnya diiringi dengan pernikahan ”antara dua keluarga besar”, dari pihak isteri dan juga suami. Selayaknyalah, dalam batas-batas yang diizinkan syari’at, sebuah pernikahan tidak menghancurkan struktur serta suasana keluarga. Pernikahan janganlah membuat suami atau isteri kehilangan perhatian pada keluarganya (ayah, ibu, adik, kakak dan seterusnya). Menurunnya frekuensi interaksi fisik (dan ini wajar) tidak boleh berarti menurun pula perhatian dan kasih sayang. Sebaliknya, perlu ditegaskan juga bahwa pernikahan adalah sebuah lembaga legal (syar’i) yang harus dihormat keberadaannya. Sebuah kesalahan serius terjadi tatkala seorang isteri atau suami menghabiskan perhatiannya hanya untuk keluarganya msing-masing sehingga tanggung jawabnya sebagai pasangan keluarga di rumahnya sendiri terbengkalai.
8. Pembagian beban
Meski ajaran Islam membeberkan dengan jelas fungsi dan tugas elemen keluarga (suami, isteri, anak, pembantu) namun dalam pelaksanaannya tidaklah kaku. Jika Rasulullah SAW menyatakan bahwa seorang isteri adalah pemimpin bagi rumah dan anak-anak, bukan berarti seorang suami tidak perlu terlibat dalam pengurusan rumah dan anak-anak. Ajaran Islam tentang keluarga adalah sebuah pedoman umum baku yang merupakan titik pangkal segala pemikiran tentang keluarga. Dalam tindakan sehari-hari, nilai-nilai lain, misalnya tentang itsar (memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain), ta’awun (tolong menolong), rahim (kasih sayang) dan lainnya juga harus berperan. Itu dapat dijumpai dalam riwayat yang sahih betapa Nabi SAW bercengkrama dengan anak dan cucu, menyapu rumah, menjahit baju yang koyak dan lain-lain.
9. Penyegaran
Manusia bukanlah robot-robot logam yang mati. Manusia mempunyai hati dan otak yang dapat mengalami kelelahan dan kejenuhan. Nabi SAW mengeritik seseorang yang menamatkan Al Quran kurang dari tiga hari, yang menghabiskan waktu malamnya hanya dengan shalat, dan yang berpuasa setiap hari. Dalam ta’lim beliau SAW juga memberikan selang waktu (dalam beberapa riwayat per pekan), tidak setiap saat atau setiap hari. Variasi aktivitas dibutuhkan manusia agar jiwanya tetap segar. Dengan demikian, keluarga yang bahagia tdak akan tumbuh dari kemonotonan aktivitas keluarga. Di samping tarbiyah, keluarga membutuhkan rekreasi (perjalanan, diskusi-diskusi ringan, kemah, dll).
10. Menata diri
Allah SWT mengisyaratkan hubungan yang erat antara ketaqwaan dan yusran (kemudahan), makhrojan (jalan keluar). Faktor kefasikan atau rendahnya iman identik dengan kesukaran, kemelut dan jalan buntu. Patutlah pasangan muslim senantiasa menata dirinya masing-masing agar jalan panjang kehidupan rumah tangganya dapat diarungi tanpa hambatan dan rintangan yang menghancurkan.
11. Mengharapkan rahmat Allah
Ketenangan dan kasih sayang dalam keluarga merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya yang Salih. Rintangan-rintangan menuju keadaan itu datang tidak saja dari faktor internal manusia, namun juga dapat muncul dari faktor eksternal termasuk gangguan syaitan dan jin. Karena itu, hubungan vertikal dengan al Khaliq harus dijaga sebaik mungkin melalui ibadah dan doa. Nabi SAW banyak mengajarkan doa-doa yang berkaitan dengan masalah keluarga.

Adab keluarga muslim


MUSLIMAH DENGAN TETANGGA
Kamis, 13 September 07
Sebagai makhluk sosial manusia hidup di tengah-tengah masyarakat, dia tidak lepas dari ikatan lingkungan di mana dia tinggal, begitu pula dengan seorang muslimah, dia pun hidup di masyarakat di mana dia menjadi bagian darinya, dengan alasan apapun dia tidak mungkin membebaskan diri dari bagiannya dan merasa seolah-olah tinggal sendiri dengan mengacuhkan lingkungan sekitar, sementara pada saat yang sama seorang muslimah juga harus menghadapi kenyataan bahwa dalam lingkungannya terdapat sisi negatif yang mengharuskannya bersikap hati-hati.
Lingkungan di mana seseorang tinggal lazim disebut dengan tetangga, dan tema tetangga sebenarnya bukan tema khusus muslimah, ia mencakup setiap muslim akan tetapi karena muslimah sebagai istri kerap berada di rumah sementara seorang muslim sebagai suami kerap berada di luar rumah, maka secara otomatis peluang interaksi kepada tetangga bagi muslimah lebih lebar.
Setiap muslim dan muslimah mengetahui posisi tetangga dalam agama Islam di mana oleh agama Islam tetangga diberi hak-hak tersendiri yang tidak diberikan kepada selainnya, hal ini terbaca dari wasiat Jibril yang berulang-ulang kepada Nabi saw tentang tetangga sehingga beliau mengira tetangga akan mewarisi. (Hadits Muttafaq alaihi dari Ibnu Umar dan Aisyah).
Di samping itu tetangga bisa menjadi salah satu tolak ukur iman seseorang. Nabi saw bersabda,



من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليحسن إلى جاره .

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Sebaliknya tetangga bisa menjadi salah satu tolak ukur ketidakimanan seseorang. Nabi saw bersabda,

" والله لا يؤمن ، والله لا يؤمن ، والله لا يؤمن !" قيل : من يا رسول الله ؟ قال : " الذي لا يأمن جاره بوائقه ".

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ketika Rasulullah saw ditanya maksudnya beliau menjawab, “Orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah). Karena itu tidak aneh kalau tetangga bisa mempengaruhi surga.
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah,

لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه .

“Tidak masuk surga orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.”
Melihat kedudukan tetangga maka selayaknya seorang muslimah memperhatikan hak-haknya karena itu merupakan bukti keimanannya di samping menjadi sebab hubungan yang baik.
Hendaknya seorang muslimah ringan tangan dengan memberikan kebaikan kepada tetangga tanpa merasa kebaikan yang diberikan remeh sebab sangat mungkin tetangga tidak melihat apa yang diberikan akan tetapi dia melihat pemberian yang merupakan bukti itikad baik untuk menjalin hubungan yang baik.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال ، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " يا نساء المسلمات لا تحقرن جارة لجارتها ولوفرسن شاة ".

“Wahai wanita-wanita muslimah, janganlah tetangga merasa remeh ketika hendak memberikan sesuatu kepada tetangganya walaupun ia hanya telapak kaki domba.” (Muttafaq alaihi).
Bisa jadi keadaan seorang muslimah tidak memungkinkannya untuk memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada tetangganya, tidak masalah karena tidak ada pembebanan di luar kemampuan, pun demikian masih ada sisi non materi yang bisa diberikan bahkan bisa jadi pahalanya lebih besar yaitu bimbingan keagamaan. Ya, seorang muslimah bisa menjadi daiyah meskipun dalam skala tetangga, membimbing membaca al-Qur`an, membimbing shalat dan membimbing dalam kebaikan-kebaikan lainnya. Tidak perlu merasa remeh karena memang masih ada muslimah-muslimah yang belum bisa beribadah dengan baik dan benar, dan mereka akan dengan senang hati menyambut bimbingan kepada kebaikan.
Termasuk kebaikan non materi adalah mengunjunginya secara berkala, apabila bertemu menjabat tangannya sambil tersenyum dan mengucapkan salam serta menanyakan kabarnya. Bagaimana jika seorang muslimah tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan, tidak materi tidak pula non materi? Tidak masalah karena masih ada kebaikan pasif yang pasti dimiliki dan mampu dilakukan oleh siapa pun yaitu menahan diri dari berbuat buruk kepada tetangga baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dalam salah satu hadits di atas Rasulullah saw menganggap seseorang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya tidak beriman.
Salah satu keburukan yang kerap terjadi dari tetangga kepada tetangga adalah memperolok-olok, saling memanggil dengan panggilan buruk dan ghibah, sebagaimana yang difirmankan Allah,

يأيها الذين ءامنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيرا منهن ولا تلمزوا أنفسكم ولا تنابزوا بالألقاب بئس الاسم الفسوق بعد الإيمان ، ومن لم يتب فأولئك هم الظالمون .

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Hujurat: 11).
Salah satu bentuk kebaikan pasif adalah tidak mempersoalkan tetangga menunaikan hajat baiknya walaupun ia berkait denganmu wahai muslimah, tetapi kamu tidak dirugikan,

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " لا يمنع جار جاره أن يغرز خشبة في جداره ".

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya tetangga tidak menghalangi tetangganya untuk menancapkan kayu di dindingnya.” (Muttafaq alaihi).
Baik kepada tetangga memang diharuskan akan tetapi tidak berarti seorang muslimah menghabiskan kebanyakan waktunya bersama tetangga, satu bersama ini, esok bersama si anu, jika demikian maka justru bukan kebaikan yang didapatkan karena rumah muslimah sendiri bisa terbengkalai, dan itu berarti memperburuk hubungan dengan keluarganya yaitu suami, di samping hal tersebut bisa menyeret kepada perbincangan-perbincangan yang tidak baik. Bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga mengikuti semua ajakan dan kemauannya karena tidak semua ajakan tetangga itu baik. Biasanya dalam kondisi tersebut yang muncul adalah perasaan tidak enak atau rikuh atau takut dianggap tidak baik kepada tetangga sehingga meskipun seorang muslimah mengetahui bahwa kemauan tetangga tersebut tidak baik dia tetap menurutinya dengan alasan di atas. Sikap ini keliru, lebih baik berterus terang melalui penyampaian dengan bahasa yang baik, insya Allah tetangga bisa memaklumi, syujur-syukur muslimah bisa membelokkan kemauan yang tidak baik itu sehingga ia menjadi baik. Kalau pun dia memutus karena itu tidak perlu bersedih karena kesalahan bukan dari Anda. Ingat agama memerintahkan berbuat baik kepada tetangga dengan timbangan agama bukan dengan timbangan para tetangga.


Ibu Sekolah Pertamaku.......


Artikel Keluarga Sakinah
IBU SEKOLAH PERTAMA
Jumat, 21 September 07
Satu hakikat yang tidak diperdebatkan oleh dua orang bahwa makhluk hidup tidak bisa lepas dari induk di mana darinya dia berasal. Memang setiap makhluk berasal dari dua unsur: jantan dan betina, akan tetapi jika dibandingkan kebutuhan dan ketergantungannya kepada salah satu unsur di atas maka kita dapatkan bahwa ketergantungannya kepada unsur betina lebih dominan. Jika ketergantungannya kepada unsur jantan pada benih jantan yang membuahi, dan sisi ini juga diimbangi oleh betina pemilik telur yang dibuahi, maka sesudah itu bisa dipastikan bahwa makhluk hidup bisa terlepas dari ketergantungan kepada jantan tetapi tidak kepada betina, maka setelah pembuahan makhluk tersebut membutuhkan rumah aman yang menjamin pertumbuhannya sampai dia siap lahir sebagai penghuni baru alam semesta. Selama itu segala kehidupannya bergantung kepada induknya dan setelah dia lahir dia tetap bergantung kepada susu induknya jika dia termasuk mamalia, jika tidak maka dia bergantung kepada induknya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, induknya mengajarinya berlindung dari bahaya, mengajarinya mencari makan, mengajarinya kekhususan-kekhususan dasar yang dimilikinya dan sebagainya, dan pada semua itu barangkali si jantan entah di mana keberadaannya.

Hakikat ini berlaku pula pada manusia walaupun terdapat beberapa sisi perbedaan namun secara prinsip tidaklah berbeda. Perbedaannya terletak pada adanya jalinan perkawinan sehingga dengannya terdapat tanggung jawab dalam bentuk perlindungan dan nafkah dari bapak kepada anaknya dan karenanya anak bergantung kepadanya dalam hal tersebut. Walaupun demikian jika dibandingkan dengan ibu maka kita bisa katakan bahwa ketergantungan anak kepadanya jauh lebih besar. Menggunakan perbandingan Rasulullah saw, ketergantungan anak kepada ibu adalah tiga perempat, sementara kepada bapak adalah sisanya yaitu seperempat, kurang dari setengah. Maka dalam hadits Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah Nabi saw mewasiatkan kepada seorang laki-laki agar berbuat baik kepada ibunya yang beliau tegaskan sebanyak tiga kali, baru pada kali keempat kepada bapaknya.



عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يارسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟ قال : " أمك" قال: ثم من؟ قال: " أمك" قال: ثم من؟ قال: " أمك" ثم من؟ قال: " أبوك ".

Dari Abu Hurairah berkata, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, siapa orang yang paling berhak mendapat kebaikanku?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Kemudian bapakmu.” Sebagian ulama berkata, “Hal itu karena ibu memiliki tiga perkara yang sangat mahal yang tidak dimiliki oleh bapak: mengandung, melahirkan dan menyusui.” Firman Allah,

حملته أمه كرها ووضعته كرها ، وحمله وفصاله ثلاثون شهرا .

“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15).

Satu hakikat lagi yang tidak diperdebatkan oleh dua orang bahwa masa yang dibutuhkan oleh seorang anak untuk bisa mandiri atau masa kekanak-kanakan anak manusia lebih panjang daripada makhluk hidup yang lain, diawali dengan kehamilan, melahirkan dan menyusui terjalin ikatan emosional antara ibu dengan anak yang tidak ada duanya, ini artinya interaksi anak dengan ibu dalam fase-fase tersebut relatif lebih intens, karenanya anak banyak mengambil dan belajar dari ibu dalam masa-masa tersebut khususnya masa-masa balita dan sekolah dasar, lebih-lebih masa pra sekolah, ibunya yang melatihnya duduk, berdiri, dan berjalan, ibulah yang mendekap dan menggendongnya jika dia jatuh ketika berlatih berjalan, ibulah yang melatihnya berbicara, memanggil mama, papa, ibulah yang menyuapinya sekaligus melatihnya cara-cara makan, ibulah yang … dan seterusnya.

Hakikat inilah yang menjadi pijakan penulis untuk berkata, ibu adalah sekolah pertama. Ungkapan ini bukan milik penulis karena penulis bukanlah orang pertama yang mengatakannya. Seorang penyair berkata,

الأم مدرسة إذا أعددتها
أعدت جيلا طيب الأعراق

Ibu adalah madrasah jika kamu menyiapkannya
Maka dia menyiapkan generasi berkarakter baik

Penyair lain berkata,

وإذا النساء نشأن فى أمية
رضع الرجال جهالة وخمولا

Apabila para ibu tumbuh dalam ketidaktahuan
Maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan keterbelakangan


Ibu adalah sekolah pertama sementara pendidikan merupakan tanggung jawab bapak sebagai penanggung jawab keluarga maka termasuk kewajiban bapak memilih sekolah pertama yang baik bagi anaknya. Melihat betapa besar pengaruh sekolah pertama ini bagi anak maka Islam menganjurkan memilih sekolah pertama yang baik dan menganjurkan bahkan melarang memilih sekolah yang tidak baik. Ketika Nabi saw menyodorkan empat perkara yang menjadi alasan seorang wanita dinikahi maka beliau menganjurkan memilih wanita dengan kriteria keempat yaitu pemilik agama.

عن أبي هريرة رضي الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها ، فاظفر بذات الدين تربت يداك .

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah pemilik agama niscaya kamu beruntung.” (Muttafaq alaihi).

Salah satu tujuan pernikahan adalah lahirnya anak keturunan yang shalih, dan peluang keshalihan anak keturunan akan tetap terbuka jika sekolah pertama bagi anak shalih pula. Kamu tidak akan memanen anggur dari duri, jangan berharap air dari api dan orang yang tidak memiliki tidak mungkin memberi. Dari sini penulis memahami bahwa di antara hikmah mengapa menikahi wanita musyrikah tidak diizinkan bahkan –menurut salah satu pendapat di kalangan para ulama dan ini insya Allah yang rajih- menikah dengan wanita pezina juga tidak diizinkan. Untuk yang pertama al-Qur`an berkata,

ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ، ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم .

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221).
Untuk yang kedua al-Qur`an berkata,

الزانى لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك ، وحرم ذلك على المؤمنين .

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (An-Nur: 3).

Menurut Anda apa yang diberikan ibu sebagai sekolah pertama kepada anaknya jika dia wanita musyrik atau pezina? Anda pasti tahu. Kata orang Arab, bejana memberi rembesan sesuai dengan isinya. Hikmah ini dikatakan secara nyata oleh al-Qur`an ketika ia melarang menikahi wanita musyrikah.

أولئك يدعون إلى النار .

“Mereka mengajak ke neraka.” (Al-Baqarah: 221). Jika orang-orang musyrik termasuk wanitanya yang menyeru ke neraka maka para pezina termasuk wanitanya menyeru kepada zina, lalu apa harapan Anda darinya?

Karena ibu adalah sekolah pertama maka dia dituntut memiliki kemampuan-kemampuan dasar agar mampu memerankan fungsinya secara positif dan berarti kepada anaknya. Di antara kemampuan-kemampuan tersebut adalah:
1. Kemampuan dasar agama khususnya yang berkaitan dengan ibadah-ibadah praktis sehari-hari seperti wudhu, adab buang hajat, doa sehari-hari dan sebagainya.
2. Kemampuan dasar calistung (membaca, menulis dan berhitung) disertai pengetahuan tentang metode pengajarannya kepada anak.
3. Kemampuan dasar bermain yang edukatif karena dunia anak adalah dunia bermain dan tidak semua permainan memiliki nilai positif, di sini ibu yang memilah.
4. Pengetahuan dasar-dasar akhlak yang baik dan metode penamaannya pada anak.
5. Pengetahuan dasar tumbuh kembang anak dan faktor penunjanganya. Hal ini untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak sehingga dia menjadi anak yang sehat karena kesehatan fisik menunjang perkembangan sisi-sisi anak yang lain.

Apapun ibu sebagai sekolah pertama dengan nilai-nilai positifnya tidak terwujud dengan baik tanpa kesediaan dari ibu itu sendiri, di mana ibu menomorduakan urusan anak dengan lebih mementingkan urusannya yang lain. Indikasi dari hal ini tercium manakala ibu lebih cenderung bersibuk diri di luar rumah dan menyerahkan anaknya kepada orang lain, pembantu atau nenek. Alasan karir atau pekerjaan adalah faktor pemicu utama, padahal jika para ibu mau jujur dalam membandingkan maka dia akan melihat bahwa keuntungan yang diperoleh dari karirnya lebih rendah dibanding dengan kerugian akibat dia meninggalkan anaknya bersama orang lain. Bagaimana pun ibu tidak tergantikan, tidak oleh nenek lebih-lebih pembantu. Dari sini maka agama Islam menyerukan kepada wanita muslimah agar tidak meninggalkan pos yang sangat membutuhkannya dengan tetap di rumah.

وقرن فى بيوتكن .

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (Al-Ahzab: 33).
Seruan tetap di rumah yang disuarakan Islam sejak hari kelahirannya ini bersambut gayung dengan ajakan dari beberapa kalangan yang berpikiran obyektif lagi positif di zaman ini kepada para wanita khususnya para ibu agar kembali ke rumah. Ajakan ini disuarakan dari beberapa kalangan negara di barat setelah mereka merasakan pahitnya resiko dari meninggalkan anak-anak dengan keluar rumah. Mereka mengakui nilai-nilai positif dari seruan Islam kepada para wanita agar tetap di rumah. Dan keutamaan adalah apa yang diakui oleh musuh. Adakah ibu muslimah mengambil pelajaran?

Buka puasa bersama Bidang Urais dengan Bapak Kakanwil Kemenag Jateng

on Senin, 13 September 2010
Suasana buka bersama Bidang Urais Jawa Tengah dengan Bapak Kakanwil dan Bapak Kabag TU di rumah makan Sari Ratu Semarang

Buku Pintar BP 4

on Minggu, 05 September 2010

Para Pemenag KUA TELADAN TINGKAT JATENG 2010

on Rabu, 01 September 2010

Sambutan Bapak Kakanwil Kemenag Prov Jateng

Bapak Kakanwil sedang memberikan sambutan  dalam acara pengukuhan Keluarga Sakinah dan KUA Teladan Tingkat Jawa Tengah 

PENGUKUHAN KELUARGA SAKINAH TELADAN TINGKAT JAWA TENGAH

Bapak Kakanwil Kemenag Prov Jawa Tengah bersama Para Pemenang Keluarga Sakinah Teladan Provinsi Jawa Tengah

BP 4 KANWIL KEMENAG PROVINSI JAWA TENGAH: PENGUKUHAN KELUARGA SAKINAH TELADAN TINGKAT JAWA TENGAH

BP 4 KANWIL KEMENAG PROVINSI JAWA TENGAH: PENGUKUHAN KELUARGA SAKINAH TELADAN TINGKAT JAWA TENGAH

PENGUKUHAN KELUARGA SAKINAH TELADAN TINGKAT JAWA TENGAH

Suasana Pengukuhan Keuarga sakinah Teladan dan KUA teladan Tingkat Jawa Tengah di Hotel Pandanaran oleh Gubernur Jawa Tengah

Ucapan Selamat dari Menteri Agama Republik Indonesia

on Rabu, 25 Agustus 2010
Peserta Peraih Terbaik 3 Pemilihan Keluarga Sakinah Teladan Tingkat Nasional 2010, KH.Abdul Azis Ashari dari Jawa Tengah mendapat ucapan selamat dari Bapak Menteri Agama Republik Indonesia

on Selasa, 24 Agustus 2010


Suasana Pelaksanaan Pengukuhan Keluarga Sakinah Teladan Tingkat Nasional Di Jakarta Tahun 2010

PENETAPAN PESERTA TERBAIK PEMILIHAN KELUARGA SAKINAH TELADAN TINGKAT NASIONAL TAHUN 2010

Bidang Urais Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah

on Senin, 23 Agustus 2010
  • Plt.Kabid Urais   
  • Drs.H.Suroso M.Pd.I
  • Drs.Sofia Nur, M.Pd
  • Drs.H.Muhdi, M.Ag
  • Drs.H.Thohir Luthfi, MM
  • Drs.H.Muhammad Syafiq
  • N.Euis Afifah, Sm.Hk
  • Drs.H.Hamid Dimyati
  • Hj.Sri Puah, SH, MSI
  • Mahfud, S.Pd
  • Sugiharto
  • H.Wiyoto
  • H.Wagino, S.Pd.I
  • H.Subidiyanto, S.Pd.I
  • Ismail Khudhori, S.HI
  • Umma Farida, S.Ag
  • Admin
  • Lisa Anggraini, A.Md
  • Tri Umi Hapsari
  • Fatoni Budiharjo

Suasana kegiatan Musda BP 4 Jateng

on Jumat, 20 Agustus 2010
Gubernur Jateng yang diwakili Assisten Kesra sedang berbincang dengan Ketua Umum BP 4 Pusat, Kasubdit Keluarga Sakinah, Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Direktur WMC, dan para Pejabat yang Hadir dalam acara Pembukaan Musda BP 4 Provinsi Jawa Tengah

Sambutan Kabid Urais Prov Jateng,Ketua BP 4 Prov Jateng

on Kamis, 19 Agustus 2010

Musda BP 4 Jateng

Musda BP 4 Provinsi Jawa Tengah, Kita Tingkatkan Profesionalisme Mediasi, Advokasi dan Suscatin Untuk mewujudkan Keluarga Sakinah 

Foto foto kegiatan Musda BP 4 Di Semarang

Para Undangan di Musda BP 4

ARTI LAMBANG BP 4

on Selasa, 10 Agustus 2010
1. Bunga Melati yang berwarna putih adalah lambang kesucian, keindahan dan kesetiaan dalam sejarah perkawinan bangsa indonesia.Pada setiap walimah perkawinan pengantin pria dan wanita serta kamar pelaminan dan sebagainya senantiasa dihiasi dan ditaburi bunga Melati. Rangkaian Melati dikalungkan di leher pada keris atau gelung pengantin sebagai amanat bahwa orang tua kita sangat menunjungjung tinggi nilai perkawinan, mengharapkan kesucian, kebahagiaan dan kesetiaan. Jumlah bunga melati 54, berarti lahirnya BP 4 pada tahun 1954 di Jakarta dan Bandung.
2. Tiang tegak satu buah menjulang keatas, melambangkan keteguhan dan kekuatan yang berurat berakar kebawah tidak mudah dirobohkan oleh hempasan badai dan topan.
3. Timbangan melambangkan rasa keadilan tidak berat sebelah, berdiri di tengah dalam menyelesaikan setiap permasalahan.
4. Suluh yang tetap menyala berarti Giat memberikan penerangan dan nasihat dengan penuh hikmah kebijaksanaan tentang kehidupan perkawinan agar suami istri senantiasa menempuh jalan lurus sehingga terhindar dari kehancuran
5. Bintang yang bersinar terang adalah lambang KETUHANAN YANG MAHA ESA, yang memberikan rahmat, taufik dan Hidayah kepada seluruh Mkhluk.
6. Warna Hijau pada segi lima berarti kesejahteraan agar perkawinan diberkahi ALLAH SWT, Tidak hanya cinta kasih semata tetapi juga sejahtera jasmani dan rohani.
7. Bentuk segi lima bermakna rukun Islam dan Pancasila yang memberikan manfaat kepada Keluarga,bangsa dan Negara.
8. Warna kuning yang menjadi dasar, melambangkan keluhuran nilai perkawinan.

PEMILIHAN KELUARGA SAKINAH TELADAN TINGKAT NASIONAL

on Senin, 09 Agustus 2010
Pemilihan Keluarga Sakinah Teladan Tingkat Nasional akan dilaksanakan pada tanggal 13 - 19 Agustus 2010 di Hotel Grand Cempaka, Jl.Letjend Suprapto Cempaka Putih Jakarta Pusat

Pengurus BADAN PENASEHATAN, PEMBINAAN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN ( BP 4 ) PROVINSI JAWA TENGAH 2009-2014

on Kamis, 05 Agustus 2010
                  
LAMPIRAN KEPUTUSAN
KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA
PROVINSI JAWA TENGAH
NOMOR :
TENTANG
PENETAPAN PENGURUS BADAN PENASIHATAN, PEMBINAAN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN (BP4) PROVINSI JAWA TENGAH
MASA BAKTI TAHUN 2009 - 2014

I.                   Pembina                                  :  Gubernur Jawa Tengah

II.                Pengarah                                 :  1. Ka Kanwil Kementerian Agama Prov. Jateng                                            2. Ketua PTA        
                                                               3. Kepala BKKBN Prov. Jateng
                                                               4. Kepala BP3AKB

III.       Dewan Pertimbangan              :  1.  Ketua MUI Jateng
                                                               2.  Ketua PW NU Jateng
                                                               3.  Ketua PW  Muhammadiyah Jateng
                                                               4.  Ketua PW Muslimat NU Jateng
                                                               5.  Ketua PW Aisyiyah Jateng
                                                               6.  Ketua TP-PKK Jateng
7.  Ketua Dharma Wanita Persatuan Kemenag  Prov. Jtg
                                                               8.  Prof. Dr. HA. Djamil, MA
   9.  Prof. Dr. Muchoyyar HS, MA
                                                              10. Prof. Dr. Sri Suhanjati
  11. Prof. Drs. A. Gunaryo, MA
  12. Prof. Dr. H. Muhibbin
  13. Drs. H. Musman Tholib, M.Ag
                                                              14. Dra. Hj. Maryam Ahmad
                                                              15. Dra. Hj. Siti Munawarah                                                  

IV.       Ketua Umum                          :  Drs. H. Choirul Djihad
Ketua I                                                :  Drs. H. Sarjuli, M.Ag
            Ketua I            I                                   :  DR. H. Abdul Choliq MT
            Ketua III                                 :  Drs. H. Muhyiddin, M.Ag
            Ketua IV                                 :  H. Ateng Chozany Miftah, M.Si

V.        Sekretaris Umum                    :  Drs. H. Achmad Suyuti
            Sekretaris                                :  1.  Drs. H. Muh. Syafiq
                                                               2.  H. Badrussalam, S.Ag

VI.       Bendahara Umum                   :  Dra. Hj. Endang Rumaningsih, MM
            Bendahara                               :  1.  N. Euis Afifah, SmHk
                                                               2.  Umma Farida, S.Ag

VII.     Bidang-bidang
            A.    Bidang Konseling, Penasihatan Perkawinan dan Keluarga
        Ketua                              :  Drs. H. Mustaghfiri Asror
        Anggota                          :  1.  Moh. Arifin, S.Ag, M.Hum
                                                   2.  dr. H. Ismed Yusuf, SpKj
                                                   3.  Drs. H. Zainuri, M.Ag
                                                   4.  Drs. H. Nursalimi, M.Ag
                                                   5.  Drs. Abdul Kadir, SH

B.     Bidang Advokasi, Mediasi dan Konsultasi Hukum
  Ketua                             :  Drs. H. Muhdi, M.Ag
          Anggota                                    :  1.  Drs. H. Zaenal Arifin, SH
                                                   2.  Drs. H. Hamid Anshori
                                                   3.  Dra. Hj. Fatimah Usman, M.SI
                                                   4.  Drs. H. Khotibul Umam
                                                   5.  Drs. H. Eman Sulaiman, SH,MH 
                                                   6.  Drs. H. Taufiqurrahman, M.Ag                         
C.     Bidang Penerangan, Komunikasi dan Informasi
 Ketua                              :  H. Moh Amir Saliyun, BA
         Anggota                         :  1.  Drs. H. Amin Handoyo, Lc
                                                   2.  H. Moch. Cholil
                                                   3.  Rini Rahayu, M.Pd
                                                   4.  Hj. Sri Puah, SH, M.SI
                                                   5.  Fajriyatul Muflihah, S.Ag

D.     Bidang Kesejahteraan Keluarga, Perlindungan Usia Dini, Pemuda dan Lanjut Usia
 Ketua                              :  Drs. H. Oom Khaeruman, M.Ag
         Anggota                         :  1.  Drs. Thohir Luthfi, MM
                                                   2.  Dra. Erna Setyowati
                                                   3.  Dra. Ema Rahmawati
                                                   4.  Dra. Hj. Gadis Sofiah, MM
                                                               5.  Drs. H. Moh. Arif. Zaini

E.           Bidang Pendidikan Keluarga Sakinah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
 Ketua                              :  Drs. H. Ahyani, M.SI
         Anggota                         :  1.  Drs. H. Saifulloh, M.Ag
   2.  Drs. H. Sofi, M.Ag
   3.  Dra. Hj. Afifatun
   4.  Drs. H. Noor Khoirin, M.Ag
   5.  H. Hamdani, S.Ag, M.SI
                                                  
F.            Bidang Usaha
 Ketua                              :  Ir. H. Khammad Ma’sum Ah
         Anggota                         :  1.  H. Hadi Amroh
                                                   2.  H. Subiddiyanto
                                                   3.  H. Wagino, S.Pd.I
                                                               4.  H. Wiyoto
                                                               5.  Ismail Khudhori, S.HI

G.     Bidang Suscatin
 Ketua                              :  Drs. Sofia Nur, M.Pd
         Anggota                         :  1.  Drs. H. Wahid Musta’in
                                                   2.  Drs. H. Maksum
                                                   3.  H. Fitriyanto, S.Ag
                                                               4.  Hj. Istijabah, S.Ag
                                                               5.  Sugiharto

Kepala,




Drs. H. Masyhudi, MM
NIP. 150 375 457

Powered By Blogger