artikel BP 4

on Minggu, 03 Oktober 2010
POLA PENASIHATAN KELUARGA BERMASALAH:
PERANAN MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF*
Oleh
Wahyu Widiana**
PENDAHULUAN
Keluarga sakinah yang penuh mawaddah dan rahmah merupakan dambaan setiap orang. Keluarga sakinah dapat dibangun jika setiap unsur keluarga, terutama suami dan isteri, memahami tujuan perkawinan dan mengerjakan hak dan kewajiban masing-masing. Mereka saling cinta mencintai, hormat menghormati dan saling membantu lahir maupun batin. Mereka saling memahami dan menghargai kedudukan dan fungsi masing-masing. Jika ini semua berjalan baik, maka keluarga bahagia yang tenteram, penuh cinta dan kasih sayang, akan secara otomatis terbentuk dalam keluarga mereka.
Persoalannya, jika setiap unsur dalam keluarga terutama suami dan isteri tidak memahami dan melaksanakan semua itu dengan baik, maka jadilah keluarga mereka sebagai keluarga yang bermasalah, penuh fitnah, penuh prasangka, tidak harmonis, dan akhirnya keluarga itu tidak dapat dipertahankan kelangsungannya.
Memang, tidak pernah ada keluarga yang tanpa perselisihan dan perbedaan. Itu sangat manusiawi. Oleh karena itu faktor penasihatan menjadi sangat penting dalam rangka mengembalikan keluarga kepada rel yang semestinya.
Dalam makalah singkat ini penulis ingin mengemukakan peran lembaga mediasi sebagai salah satu alternative pola penasihatan dalam menangani keluarga yang bermasalah.
--------------
* Makalah disampaikan pada Rakernas BP4, 15 Agustus 2006, di Jakarta
** Adalah Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung RI
KELUARGA BERMASALAH
Mengetahui berapa jumlah keluarga yang bermasalah dan sebab-sebabnya sangatlah penting untuk menentukan suatu pola penasihatan sebagai usaha untuk mengatasinya. Oleh
2
karena itu, penulis dalam bagian ini mencoba mengemukakan data yang berhubungan dengan jumlah dan sebab-sebab yang menjadi masalah. Kita sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti data keluarga bermasalah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tidak semua keluarga bermasalah dapat dicatat -apalagi melaporkannya, sebab tidak ada kewajiban untuk itu-bahkan penasihatan yang dilakukan oleh berbagai lembagapun sangat sulit didata berapa jumlahnya. Namun demikian, data yang tercatat dari Pengadilan Agama (PA) se Indonesia dari tahun ke tahun dapat memberi gambaran tentang jumlah keluarga bermasalah di Indonesia. Berikut adalah tabel jumlah perkara yang diputus oleh PA se Indonesia dalam 5 tahun terakhir, yang penulis rekap dari buku Statistik Perkara yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, sebelum 2005, dan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung sejak tahun 2005. JUMLAH PERKARA YANG DIPUTUS PENGADILAN AGAMA SE INDONESIA ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- Tahun Cerai Cerai Jumlah Perkara Jumlah Prkr Talak Gugat Prkr.Cerai Lain Yg Diputus 2001 61.593 83.319 144.912 14.387 159.299 2002 58.153 85.737 143.890 13.441 157.331 2003 52.360 80.946 133.306 12.287 145.593 2004 53.509 87.731 141.240 13.091 154.331 2005 55.536 94.859 150.395 14.847 165.242 Jumlah 281.151 432.592 713.743 68.053 781.796 Rata2/tahun 56.230 86.518 142.749 13.611 156.359 -------------------------------------------------------------------------------------------------------- Dari tabel di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Jumlah keluarga bermasalah yang diputus cerai di PA setiap tahun relative tetap, yaitu rata-rata sekitar 143.000. Jika peristiwa nikah setiap tahun sekitar 2 juta, maka yang cerai mencapai 7 %.
2. Mayoritas perkara di PA adalah perkara mengenai keluarga bermasalah. Setiap tahun rata-rata sekitar 91 % dari jumlah semua jenis perkara.
3
3. Jumlah perkara cerai gugat (permohonan cerai diajukan isteri) setiap tahun selalu lebih besar dari jumlah perkara cerai talak (permohonan cerai diajukan suami). Jumlah cerai gugat dalam 5 tahun terakhir ini, rata-rata 1,5 kali jumlah cerai talak. Ini, secara sederhana, dapat diartikan bahwa pihak isterilah yang lebih banyak sebagai “korban” dalam keluarga bermasalah, sehingga karena pengaruh maraknya sosialisasi persamaan jender, maka pihak isteri tidak segan-segan lagi untuk mengajukan gugat cerai ke pengadilan. Dalam praktek, walaupun dalam perkara gugat talak, yang mengajukan permohonan itu suami, tidak sedikit bahwa penyebab masalah itu justru suami sendiri.
Faktor penyebab perceraian dari keluarga bermasalah bermacam-macam. Sering kali permasalahan dalam keluarga disebabkan tidak oleh satu faktor saja, namun dapat karena 2, 3 atau banyak factor. Untuk mendapatkan gambaran, dari 150.395 perkara perceraian yang diputus oleh PA se Indonesia tahun 2005, dapat dicatat factor-faktor dominan terjadinya perceraian, secara urut, sebagai berikut: (1) Tidak ada keharmonisan sebagai kumulasi berbagai factor, 56.064 perkara, (2) Tidak ada tanggung jawab, 46.723, (3) Ekonomi, 24.251, (4) Gangguan pihak ketiga, 9.071, (5) Moral, 4.916, (6) Cemburu, 4.708, (7) Kawin Paksa, 1.692, (8) Penganiayaan, 916, (9) Poligami tidak sehat, 879, (10) Cacat biologis, 581, (11) Kawin di bawah umur, 284, (12) Politik, 157, (13) Dipidana, 153. Untuk mengklasifikasi faktor-faktor penyebab perceraian tidaklah mudah. Sering kali antara satu faktor dengan factor lainnya sulit dibedakan, atau dapat disatu kelompokkan. Bahkan banyak orang berpendapat, faktor perceraian itu hanyalah satu, yaitu pecahnya hati antara suami isteri (broken marriage). Apapun penyebab masalah, kalau hati tidak pecah, maka perkawinan akan tetap lestari. Disinilah pentingnya penasihatan. Namun demikian, mengetahui faktor-faktor penyebab keretakan rumah tangga secara spesifik sangatlah penting, juga untuk kepentingan penasihatan Berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, penasihatan di pengadilan selalu diusahakan di tiap kali persidangan. Bahkan, pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara pribadi, tidak boleh diwakilkan (UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, pasal 82). Hakim sebelum memeriksa perkaranya lebih lanjut wajib berusaha mendamaikannya, dengan memberi nasihat-nasihat. Namun karena keadaan hubungan suami isteri yang masuk pengadilan sudah sangat parah –hati mereka sudah pecah-, maka usaha penasihatan tidak banyak membawa hasil. Sebagai gambaran, dari perkara yang masuk tahun 2005 sejumlah 175.133, secara nasional, dicabut 9.188 atau sekitar 5 %. Perkara yang dicabut ini pada umumnya karena suami isteri berhasil didamaikan, setelah terlebih dahulu diberikan penasihatan.
4
POLA PENASIHATAN KELUARGA BERMASALAH Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan -biasanya seorang tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan- atau oleh lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majlis hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan. Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun demikian, penasihatan di luar pengadilan sangat tergantung kepada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung kepada tingkat “kewibawaan” para penasihat, baik perorangan maupun lembaga. Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahan tidak dapat dipecahkan dan suami-isteri tidak dapat didamaikan.
Sementara itu, penasihatan di pengadilan sangat dibatasi waktu, tempat dan ketentuan-ketentuan beracara, sehingga permasalahan tidak dapat digali sebanyak permasalahan yang dilakukan pada penasihatan di luar pengadilan. Demikian pula pemecahannyapun. Pendek kata, penasihatan di depan sidang pengadilan lebih banyak untuk memenuhi ketentuan formil dan sangat sulit dapat dikembangkan sebagaimana penasihatan di luar pengadilan. Apa lagi pasangan suami isteri yang datang ke pengadilan, pada umumnya, adalah pasangan yang membawa permasalahan keluarga yang sangat berat, sudah patah arang. Memang demikian, karena sidang pengadilan pada dasarnya bukanlah merupakan lembaga penasihatan, namun ia adalah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, yang dalam kegiatannya berfungsi juga untuk melakukan penasihatan sebelum memeriksa lebih jauh perkara yang diajukan dan memutus perkara jika tidak ada kesepakatan damai di antara para pihak. Hasil penasihatan –berupa kesepakatan untuk damai atau tidak ada kesepakatan apa-apa- dapat langsung dijadikan dasar oleh majlis hakim untuk melakukan proses hukum selanjutnya: pembuatan akte perdamaian atau pemeriksaan perkara sesuai permohonan atau gugatan.
5
Kelemahan secara keseluruhan dari pola penasihatan yang ada dewasa ini adalah tidak ada keterkaitan hukum yang kuat antara penasihatan di luar dan di dalam pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan bukan atas perintah atau rekomendasi majlis pengadilan. Sehingga hasilnyapun, jika dibawa ke pengadilan, bukan merupakan rekomendasi yang kuat yang langsung dapat diterima oleh majlis hakim. Majlis hakim harus melakukan proses dari awal lagi, walaupun yang berperkara telah melalui proses penasihatan di luar pengadilan. Dengan kata lain, penasihatan-penasihatan di pengadilan tetap dilakukan sesuai hukum acara yang berlaku. Pola penasihatan seperti di atas, tidak menguntungkan kepada pencari keadilan atau kepada sistem penasihatan itu sendiri. Salah satu penyebab dari kelemahan pola selama ini adalah belum ada ketentuan tehnis beracara yang dapat dijadikan pedoman oleh pengadilan, sehingga seringkali terjadi adanya hubungan yang kurang mesra antara Kantor Departemen Agama dengan Pengadilan Agama. Contoh kekurang-mesraan tersebut antara lain akibat adanya perbedaan penafsiran atas Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah Dan Tata Kerja Pengadilan Agama Dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam. Sebagian petugas di Kantor Departemen Agama memandang bahwa berdasarkan peraturan Menteri tersebut, semua pasangan suami-isteri yang akan berperkara di PA harus melalui penasihatan BP4 terlebih dahulu. Demikian pula, perselisihan suami-isteri yang sedang ditangani oleh BP4 hendaknya diselesaikan terlebih dahulu di BP4 sebelum dibawa ke pengadilan. Seakan-akan, kalau belum tuntas di BP4, pasangan suami isteri tidak boleh langsung ke PA. Sementara petugas PA memandang bahwa pengadilan tidak boleh menolak menerima perkara yang menjadi kewenangannya, yang diajukan oleh pencari keadilan, dengan alasan sedang dalam proses penasihatan BP4, sebab hal itu melanggar undang-undang.
Sebenarnya, kalau kedua belah pihak memahami tugas dan kewenangannya masing-masing, serta saling hormat menghormati atas tugas dan kewenangan pihak lainnya, maka “kemesraan” antara dua instansi ini tidak akan terganggu. Bunyi Pasal 28, ayat (3) Peraturan Menteri tersebut adalah: “Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada Badan Penasehatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat, agar kepada suami isteri dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga;” . Ketentuan ini harus difahami bahwa untuk kepentingan suami-isteri yang ditimpa masalah, maka PA dapat meminta bantuan BP4 -bukan suatu kewajiban- untuk menasihati suami isteri tersebut. Dalam praktek, seringkali
6
pencari keadilan langsung mendaftarkan ke PA tanpa melalui BP4, mungkin karena tidak mengetahui adanya BP4 dan manfaat penasihatannya, atau mungkin merasa tidak ada kewajiban untuk mendatangi BP4 terlebih dahulu, atau mungkin merasa kurang ada manfaat dari penasihatan BP4. Pengadilan berdasarkan hukum acara yang berlaku memang tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh pencari keadilan tersebut. Pengadilan setelah tidak berhasil mendamaikan yang berperkara pada sidang pertama, dapat saja, menyarankan agar para pihak mendatangi lembaga konsultasi keluarga, seperti BP4, untuk mendapatkan penasihatan terlebih dahulu sebelum pemeriksaan perkara dilanjutkan. Namun, mungkin selama ini, atas pertimbangan banyak hal, majlis hakim memandang bahwa jika hal itu dilakukan maka proses peradilan yang ditentukan oleh undang-undang harus berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, akan terhambat. Majlis hakim merasa tidak ada kewajiban untuk menyarankan atau memerintahkan agar yang berperkara terlebih dahulu harus ditangani oleh lembaga penasihatan dan sejenisnya. MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF. Memperhatikan pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia yang terjadi selama ini sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pola tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan. Kini, permasalahan tersebut di atas mulai terbuka untuk dapat diatasi. Pola penasihatan di luar pengadilan, yang sama sekali tidak berkaitan dengan pengadilan, dapat terus berlangsung, bahkan ditingkatkan kualitas dan kuantitas penasihatannya. Unsur pokok dan penunjang penasihatan, seperti sumber daya manusia, anggaran, sarana prasarana, metode, pemasyarakatan dan lainnya perlu mendapatkan perhatian dari pihak yang berwenang. Sementara itu, pola penasihatan di dalam pengadilan dapat dikembangkan menjadi pola baru dengan memanfaatkan penasihatan dari luar pengadilan. Dengan kata lain, pola yang mengintegrasikan penasihatan di luar majlis pengadilan ke dalam proses beracara di pengadilan dapat diterapkan dengan menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangannya serta penunjang lainnya yang diperlukan. Pola yang dimaksud adalah penyelesaian perkara melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dapat dijadikan pedoman pengembangan pola penasihatan bagi keluarga bermasalah yang perkaranya masuk ke Pengadilan Agama. Sebetulnya PERMA ini pada
7
dasarnya diperuntukan bagi lingkungan peradilan umum, namun dapat pula dipakai oleh lingkungan peradilan agama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 -PERMA ini terdiri dari 18 pasal- yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: “Apabila dipandang perlu ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, selain dipergunakan dalam lingkungan peradilan umum, dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya”. Kini di lingkungan peradilan agama, sedang terus dikaji pemanfaatan lembaga mediasi ini dan sedang dibahas penyusunan pedoman mediasi, khusus untuk lingkungan peradilan agama. Sebagai gambaran, berikut adalah beberapa catatan atau ketentuan yang diambil dari PERMA tersebut:
1. PERMA ini dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan peradilan yang cepat dan murah serta memberikan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa.
2. Menjadikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama.
3. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
4. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang membantu para pihak menyelesaikan perkaranya. Mediator dapat berasal dari kalangan hakim dan pegawai lainnya pada pengadilan, atau berasal dari luar pengadilan. Untuk menjadi mediator, seseorang harus mendapatkan sertifikat diklat mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
5. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Kewajiban ini disampaikan pada hari sidang pertama. Hakim wajib memberikan penjelasan tentang prosedur dan biaya mediasi.
6. Satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak harus sepakat menunjuk mediator, dari dalam atau luar pengadilan, kalau tidak, ketua majlis berwenang menunjuk mediator. Hakim yang memeriksa suatu perkara dilarang menjadi mediator bagi perkara yang bersangkutan.
7. Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator.
8. Proses mediasi berlangsung paling lama 22 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan mediator.
9. Atas persetujuan para pihak, mediator dapat mengundang ahli dalam bidang tertentu.
10. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, kesepakatan itu harus tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak. Dalam kesepakatan itu harus mencantumkan klausula pencabutan perkara. Pada hari sidang yang ditentukan hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akte perdamaian.
8
11. Jika mediasi gagal memperolah kesepakatan, mediator wajib menyatakannya secara tertulis dan melaporkannya kepada hakim. Lalu hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai Hukum Acara yang berlaku.
12. Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara selanjutnya. Fotokopi dokumen, notulen dan catatan mediator wajib dimusnahkan. Mediator tidak dapat diminta kembali menjadi saksi proses selanjutnya.
13. Tempat mediasi adalah di pengadilan atau tempat lain berdasarkan kesepakatan.
14. Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya. Sedangkan biaya mediator yang bukan hakim ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan, kecuali bagi para pihak yang tidak mampu.
Bagi lingkungan peradilan agama, pada prinsipnya, penerapan mediasi harus dapat diterima dan dikembangkan. Hal ini sangat sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Islam, baik yang tercantum dalam Al Qur’an, Al Hadits maupun tradisi dalam Islam yang memerintahkan untuk mengutamakan perdamaian dan kesepakatan dalam segala hal, kecuali kesepakatan untuk menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Namun dalam penerapannya, perlu diperhatikan dan dibuatkan rambu-rambu agar ada jaminan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, serta untuk mewujudkan rasa keadilan bagi para pihak pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya. Proses penyelesaian perkara keluarga bermasalah melalui perdamaian dengan menerapkan lembaga mediasi, yang ditunjang dengan sistem manajemen yang baik, akan memperoleh hasil yang baik. Penyiapan unsur manajemen, seperti men, money, materials, methods dan lainnya, perlu dilakukan sebaik-baiknya, sehingga sistem baru ini tidak menjadi kontra produktif. Kajian-kajian terhadap sistem ini perlu dilakukan. Memang, di negara maju, seperti di Australia, pemanfaatan lembaga mediasi dalam pola penasihatan dan penyelesaian perkara di Family Court, dinilai berhasil dengan baik. Di sana, perkara-perkara yang masuk ke pengadilan dapat difilter dan diselesaikan melalui lembaga mediasi, sehingga perdamaian dan kesepakatan di antara kedua pihak banyak berhasil diwujudkan, bahkan jumlah perkara yang sampai ke majlis hakim, jauh lebih sedikit dibanding jumlah perkara yang didaftar masuk pengadilan. Namun demikian, sistem di sana belum tentu cocok jika sistem itu diterapkan di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sangat menentukan.
9
PENUTUP Pola baru penasihatan keluarga bermasalah yang dapat dikembangkan di Indonesia perlu terus dikaji dan diuji kehandalannya. Sementara kita menggunakan dan menyempurnakan pola lama, pola baru ini perlu mendapat perhatian yang serius, terutama dari BP4 yang sudah sangat berpengalaman dan dikenal sebagai lembaga penasihatan perkawinan terkemuka di Indonesia. Hakikat dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah apa yang dikehendaki oleh Menteri Agama dan jajarannya sejak sekian puluh tahun yang lalu. Hakikat apa yang dikehendaki adalah bahwa peranan penasihatan yang dilakukan oleh lembaga profesional di luar pengadilan –dalam hal ini BP4- dapat diperbesar, sehingga jumlah keluarga yang pecah dapat diminimalisir sebanyak mungkin. Kini, kemungkinan untuk memberi peran yang lebih besar kepada BP4 dalam penasihatan, pembinaan dan pelestarian perkawinan, khusus bagi pasangan yang telah mengajukan perkaranya ke pengadilan, telah dibuka lebar-lebar oleh Peraturan Mahkamah Agung di atas. Ini merupakan tantangan, sekaligus peluang yang sangat besar bagi BP4. Saran penulis, kiranya tantangan dan peluang ini dapat ditangkap dan ditindak lanjuti –walaupun sudah agak terlambat- dengan mengadakan kontak untuk melakukan dialog, diskusi, dan kajian dengan Mahkamah Agung, khususnya dengan Ketua Muda Agama dan jajaran peradilan agama, sehingga terwujud prosedur mediasi di lingkungan peradilan agama yang dapat membantu penyelesaian perkara keluarga, secara sederhana, cepat dan biaya ringan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Mudah-mudahan makalah sederhana ini ada manfaatnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger