Keluarga pondasi pertama

on Minggu, 24 Oktober 2010
Artikel Keluarga Sakinah
KELUARGA PONDASI PERTAMA
Jumat, 02 Juli 10

Keluarga merupakan sebuah pilar dari tatanan bagi kaidah dasar masyarakat muslim, kaidah ini di mana Islam menaunginya dengan perhatian yang besar, menatanya melindunginya dan membersihkannya dari nilai-nilai jahiliyah terserak di berbagai surat al-Qur`an, diliputi dengan segala faktor penunjang yang diperlukan untuk menegakkan kaidah dasar besar ini.

Tatanan sosial Islam adalah tatanan keluarga, karena ia merupakan tatanan rabbani bagi manusia, seluruh kekhususan fitrah insaniyah, hajat-hajat dan penunjang-penunjangnya begitu diperhatikan, tatanan keluarga dalam Islam terpancar dari mata air fitrah dan dasar penciptaan, dan meruapakan kaidah pembentuk pertama bagi makhluk semuanya.

Fitrah ini terlihat jelas dalam firmanNya Taala, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat: 49)

Dan firmanNya, “Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yasin: 36).

Padangan Islam kepada manusia hadir fase demi fase, Islam menyinggung jiwa pertama yang menjadi asal-usul bagi pasangan laki-laki dan perempuan kemudian anak cucu kemudian seluruh manusia.

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-Nisa`: 1).

Kemudian membuka ketertarikan fitrah di antara kedua jenis bukan untuk sekdar menggabungkan antara laki-laki dan perempuan akan tetapi untuk mengarahkan kepada penegakan keluarga dan rumah, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21).

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 223).

Fitrah bekerja, keluarga merespon fitrah yang mendalam ini pada dasar alam dan pada bangunan manusia. Dari sini maka tatanan keluarga dalam Islam adalah tatanan alami fitri yang terpancar dari dasar pembentukan insani bahwa dari dasar pembentukan segala sesuatu seluruhnya di alam ini sesuai dengan metode Islam dalam mengaitkan tatanan yang ditegakkannya bagi manusia dengan tatanan yang Allah tegakkan untuk alam seluruhnya di mana manusia adalah salah satunya.

Keluarga adalah sarang alami yang menjaga dan memelihara anak-anak yang tumbuh, mengembangkan jasad, akal dan ruhnya, dalam naungannya dia menerima perasaan cinta, kasih dan kebersamaan dan terbentuk dengan tabiat yang mengiringinya sepanjang hidup, di atas petunjuk dan cahayanya dia melek untuk hidup, mengungkap hidup dan berinteraksi dengan hidup. Masa kanak-kanak bagi anak manusia adalah yang terpanjang, masa ini berlangsung lebih lama dibanding masa kanak-kanak dari makhluk hidup yang lain.

Hal itu karena fase kanak-kanak adalah fase persiapan, penyiapan, pelatihan bagi peran yang dituntut dari setiap makhluk hidup yang tetap hidup. Manakala tugas manusia adalah tugas terbesar dan perannya di bumi adalah peran terbesar maka masa kanak-kanaknya berlangsung lebih panjang agar kesiapan dan pelatihan terswujud dengan baik demi masa depannya.

Dari sini maka hajatnya untuk selalu berada di samping bapak ibunya lebih mendesak daripada hajat anak dari makhluk hidup yang lain dan keluarga yang stabil lagi tenang lebih dekat kepada tatanan insani dan lebih terkait erat dengan fitrah manusia, pembentukan dan perannya dalam hidup ini.

Pengalaman empiris membuktikan bahwa perangkat lain selain perangkat keluarga tidak menggantikannya, tidak mengambil posisiya, tidak terbebas dari dampak negatif dan kerusakan dalam pembentukan dan pendidikan anak-anak.

Dari sini kita melihat tatanan sosial Islam di mana dengannya Allah ingin kaum muslimin masuk ke dalam kedamaian dan menikmati kedamaian menyeluruh di bawah payungnya, berdiri di atas dasar keluarga, memberikan perhatian yang selaras dengan perannya yang besar. Dari sini kita menemukan dalam beberapa surat al-Qur`an al-Karim tatanan-tatanan qur`ani bagi segi-segi dan faktor-faktor yang menjadi pijakan bagi tatanan yang kokoh lagi kuat ini.

Islam menegakkan tatanan keluarga di atas dasar yang kuat, cermat dan realistis, pada saat yang sama Islam mendirikan bangunan masyarakat di atas kaidah hakiki yang kuat dengan kandungan kebenarannya dan kesesuaiannya dengan realita fitrah yang mendalam. Tatanan apapun yang menutup mata dari hakikat alami keluarga merupakan tatanan yang gagal, lemah, berpondasi ringkih tidak mungkin hidup mulia, tenang dan damai. Islam memperhatikan perlindungan terhadap keluarga dan ikatan-ikatannya dari semua syubhat dan penyusup yang merusak, memagarinya dengan seluruh sebab-sebab keselamatan, kelurusan, kekuatan dan ketegaran agar ia menjadi pondasi bagi berdirinya masyarakat yang bersih, steril, luhur dan saling mendukung.

Al-Qur`an membangun keluarga untuk membentuk darinya sebuah masyarakat yang berdiri di atas amanat agama Allah di muka bumi dan manhajnya dalam hidup serta tatananNya pada manusia, tidak ada jalam melainkan membangun jiwa-jiwanya sebagai pribadi, membangunnya sebagai jamaah dan membangunnya sebagai faktor riil, semuanya pada saat yang sama.

Seorang muslim tidak membangun satu pribadi kecuali dalam jamaah, Islam tidak dibayangkan berdiri kecuali dalam lingkaran dan tujuan sosial di mana pada saat yang sama tersemat di pundak masing-masing anggotanya tugas menegakkan manhaj rabbani ini di dalam jiwa dan di dalam perilaku disertai penegakkannya di bumi dan ia tidak tegak di bumi kecuali dalam sebuah masyarakat, ia tidak tegak dalam sebuah masyarakat kecuali dalam keluarga yang hidup, bergerak, bekerja dalam koridor manhaj ilahi tersebut.

Oleh karena itu Islam memperhatikan penataan terhadap urusan-urusan keluarga, dan menegakkannya di atas dasar yang kokoh, sejalan dengan tuntutan fitrah, membentenginya dari pengaruh hal-hal buruk yang menyusup ke dalam iklim kehidupan keluarga, membentenginya sekaligus membentengi masyarakat bersamanya dari mewabahnya perbuatan-perbuatan kotor dan praktek-praktek haram serta perkara-perkara yang melemahkan ikatan keluarga Islam menegakkan tatanannya bagi keluarga di atas kaidah-kaidah fitrah, ia memandang tema ini penting dan mendasar di mana penataannya berakibat mengalirnya kehidupan manusia di atas jalurnya yang fitri, tenang dan baik sebagaimana penyimpangannya menyeret kerusakan besar di bumi.

Islam telah menentukan cara di mana Allah ingin kaum laki-laki dan perempuan bersatu di atasnya dalam bangunan keluarga yang bersih dan mengandung kemudahan dan keringanan serta kesucian. Ia menetapkan kaidah-kaidah sebagai aturan main yang mendasari bangunan dasar tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ada di pundak kedua belah pihak yang berikrar di dalamnya.

Termasuk yang patut diperhatikan, bahwa al-Qur`an mengikat dengan cermat tatanan-tatanan dan hukum-hukum ini dengan dasar pertama yang besar bagi iman yaitu bahwa hanya Dia yang patut di sembah dan bahwa tatanan-tatanan dan hkum-hukum berasal dariNya dan ini merupakan tuntutan uluhiyahNya.

Perkara lain yang ditegaskan dan diulang-ulang al-Qur`an adalah bahwa manhaj Allah ini lebih mudah, lebih ringan bagi manusia dan lebih dekat kepada fitrah daripada manhaj-manhaj yang diinginkan dan dimaui oleh manusia, bahwa termasuk rahmat Allah kepada manusia yang lemah di saat Dia mensyariatkan manhaj ini, menyimpang darinya dijamin sengsara dan nestapa lebih dari itu kerendahan dan kehinaan. Kita melihat bukti dari hakikat ini pada realita historis manusia, hakikat yang jelas di dunia nyata kalau hawa nafsu tidak menutupi hati dan membutakan mata pada saat jahiliyah menebarkan penutup kepada hati dan kabut kepada mata yang menghalangi dari hakikat. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)
Hit : 586 | Index | kirim ke teman | versi cetak  <!-- --- FOOTER mulai --->
 
 

Melajang enak yang tidak enak

Artikel Keluarga Sakinah
MELAJANG, ENAK YANG TIDAK ENAK
Rabu, 20 Oktober 10

Sunnatullah menetapkan bahwa kehidupan itu berpasangan, hal ini berlaku general, betina dengan jantan, wanita dengan laki-laki dan Hawa dengan Adam. Pada alam selain manusia, penyatuan dua pasangan ini berjalan alamiah, natural tanpa ikatan syarat tertentu, hal ini berbeda dengan alam manusia yang untuk menyatukan pasangan, wanita dengan pria dibutuhkan sebuah ikatan mulia lagi agung, yaitu pernikahan.

Pertanyaan selanjtunya, lalu bagaimana bila seseorang tidak menemukan pasangannya? Atau memang tidak berhasrat untuk hidup berpasangan? Ada yang bilang, “Kasihan dia.” Namun ada juga yang menjawab, “Santai saja.” Apa pun jawabannya, kita tidak pungkiri bahwa gaya hidup melajang ini oleh sebagian orang sengaja dipilih sebagai jalan yang akan dia lakoni. Sah saja kalau memang bisa menikmatinya, plus yang tidak kalah pentingnya, mampu menahan godaan sehingga tidak terjerumus ke dalam lubang haram, sekalipun paling tidak hal itu menyelisihi yang lebih utama.

Dalam tataran kasuistik, melajang tidak perlu dirisaukan, karena namanya saja kasus, bilangannya tidak berbanding dengan sebaliknya, akan tetapi saat gaya hidup ini meningkat menjadi sebuah fenomena, bahkan dianggap sebagai jalan yang benar dengan seribu macam alasan, maka hal ini yang patut diperhatikan. Ada apa? Apakah manusia tidak lagi membutuhkan pasangan hidup yang legal dari sisi Agama? Apa mungkin sisi kebutuhan ini sudah tercover dengan pasangan hidup ala cinta satu malam? Yang kedua inilah yang kita khawatirkan, karena hal itu sama saja dengan menyuburkan hubungan haram yang menelorkan banyak malapetaka kehidupan.

Dari satu sisi, kehidupan melajang adalah hak pribadi seseorang, karena menikah sendiri adalah sunnah bagi pihak yang mampu namun tidak khawatir berzina, tetapi di sisi lain, seseorang tidak sebatas hanya sebagai pribadi, karena ia ada dan hidup bersama pribadi lain di sebuah komunitas masyarakat, ma fi musykilah tidak masalah bila gaya hidup melajang ini masih tetap dalam tataran pribadi sebagi sebuah hak pilihan pribadi tanpa diiklankan dan diupayakan untuk mempengaruhi orang lain, lain perkara bila gaya hidup ini kemudian diekspos, digembar-gemborkan, dikampanyekan sehingga ia mulai memiliki banyak simpatisan dan pengikut, bisa-bisa nanti akan lahir masyarakat bujangan. Waduh, repot deh.

Yang kedua inilah yang perlu disikapi dengan hati-hati, namanya juga kampanye dan iklan, pasti dikemas semenarik mungkin dengan logika yang sekilas logis. “Gak usah memelihara kambing kalau hanya ingin makan sate, yang jual banyak, bahkan lebih variatif.” Begitu sebagian pemuja gaya hidup ini berkilah.

Hidup lepas tanpa aturan suami istri yang dianggap mengekang, barang kali sisi ‘enaknya’ melajang, tetapi bukankah enak atau tak enak itu kembali kepada bagaimana kita ngejalaninya? So, tidak selamanya alasan tersebut benar, dalam arti lepas dari ikatan suami istri tidak otomatis nikmat, kalau memang nikmat, maka ia nikmat di sebagian kecil sisi hidup, sisanya adalah sebaliknya.

Bila direnungkan, hanya kata ‘bebas’ yang menjadi magnet kuat yang menyedot sebagian kalangan untuk memilih melajang, ingin menikmati kesendirian lebih lama demi sebuah kepuasan pribadi, namun resikonya ada sisi lain yang juga berdampak terhadap dirinya dalam bentuk keharusan memendam ketertarikan kepada lawan jenis atau mengalihkan rasa ini ke arah yang syar’i. Rasanya kebebasan yang merupakan ‘nilai plus’ dalam membujang tidak berbanding dengan beratnya memendam ketertarikan tersebut yang bila jebol maka ia akan tertumpah ke lorong setan.

Bukan persoalan kalau melajang dengan alasan karena belum mampu, tetapi bila kemampuan tersebut sudah di tangan, bukankah ini menutup peluang dan harapan orang lain untuk menjadi pendamping hidupnya? Maka kepada siapa yang telah mampu dan lebih tertarik kepada godaan melajang, maka tidak ada salahnya merenungkan sabda Nabi saw,

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah maka hendaknya dia menikah, karena ia lebih menahan pandangan dan lebih memelihara kehormatan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi.

Melajang, apa pun alasannya, adalah ketidakmampuan, orang yang memilih gaya hidup ini hanya bisa bertahan, defensif, sebaliknya menikah adalah kemampuan, jalan baik ini mampu melakukan dan mencetak banyak hal mulia di muka bumi ini: kebahagiaan, ketenteraman, kasih sayang, hubungan yang syar’i, anak-anak peramai bumi dan penerus keturunan. Lalu apa yang dilakukan oleh melajang? Hanya satu kebebasan, keenakan yang tak enak. Wallahu a’alm.
Hit : 50 | Index | kirim ke teman | versi cetak  <!-- --- FOOTER mulai --->

on Senin, 04 Oktober 2010

artikel BP 4

on Minggu, 03 Oktober 2010
POLA PENASIHATAN KELUARGA BERMASALAH:
PERANAN MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF*
Oleh
Wahyu Widiana**
PENDAHULUAN
Keluarga sakinah yang penuh mawaddah dan rahmah merupakan dambaan setiap orang. Keluarga sakinah dapat dibangun jika setiap unsur keluarga, terutama suami dan isteri, memahami tujuan perkawinan dan mengerjakan hak dan kewajiban masing-masing. Mereka saling cinta mencintai, hormat menghormati dan saling membantu lahir maupun batin. Mereka saling memahami dan menghargai kedudukan dan fungsi masing-masing. Jika ini semua berjalan baik, maka keluarga bahagia yang tenteram, penuh cinta dan kasih sayang, akan secara otomatis terbentuk dalam keluarga mereka.
Persoalannya, jika setiap unsur dalam keluarga terutama suami dan isteri tidak memahami dan melaksanakan semua itu dengan baik, maka jadilah keluarga mereka sebagai keluarga yang bermasalah, penuh fitnah, penuh prasangka, tidak harmonis, dan akhirnya keluarga itu tidak dapat dipertahankan kelangsungannya.
Memang, tidak pernah ada keluarga yang tanpa perselisihan dan perbedaan. Itu sangat manusiawi. Oleh karena itu faktor penasihatan menjadi sangat penting dalam rangka mengembalikan keluarga kepada rel yang semestinya.
Dalam makalah singkat ini penulis ingin mengemukakan peran lembaga mediasi sebagai salah satu alternative pola penasihatan dalam menangani keluarga yang bermasalah.
--------------
* Makalah disampaikan pada Rakernas BP4, 15 Agustus 2006, di Jakarta
** Adalah Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung RI
KELUARGA BERMASALAH
Mengetahui berapa jumlah keluarga yang bermasalah dan sebab-sebabnya sangatlah penting untuk menentukan suatu pola penasihatan sebagai usaha untuk mengatasinya. Oleh
2
karena itu, penulis dalam bagian ini mencoba mengemukakan data yang berhubungan dengan jumlah dan sebab-sebab yang menjadi masalah. Kita sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti data keluarga bermasalah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tidak semua keluarga bermasalah dapat dicatat -apalagi melaporkannya, sebab tidak ada kewajiban untuk itu-bahkan penasihatan yang dilakukan oleh berbagai lembagapun sangat sulit didata berapa jumlahnya. Namun demikian, data yang tercatat dari Pengadilan Agama (PA) se Indonesia dari tahun ke tahun dapat memberi gambaran tentang jumlah keluarga bermasalah di Indonesia. Berikut adalah tabel jumlah perkara yang diputus oleh PA se Indonesia dalam 5 tahun terakhir, yang penulis rekap dari buku Statistik Perkara yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, sebelum 2005, dan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung sejak tahun 2005. JUMLAH PERKARA YANG DIPUTUS PENGADILAN AGAMA SE INDONESIA ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- Tahun Cerai Cerai Jumlah Perkara Jumlah Prkr Talak Gugat Prkr.Cerai Lain Yg Diputus 2001 61.593 83.319 144.912 14.387 159.299 2002 58.153 85.737 143.890 13.441 157.331 2003 52.360 80.946 133.306 12.287 145.593 2004 53.509 87.731 141.240 13.091 154.331 2005 55.536 94.859 150.395 14.847 165.242 Jumlah 281.151 432.592 713.743 68.053 781.796 Rata2/tahun 56.230 86.518 142.749 13.611 156.359 -------------------------------------------------------------------------------------------------------- Dari tabel di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Jumlah keluarga bermasalah yang diputus cerai di PA setiap tahun relative tetap, yaitu rata-rata sekitar 143.000. Jika peristiwa nikah setiap tahun sekitar 2 juta, maka yang cerai mencapai 7 %.
2. Mayoritas perkara di PA adalah perkara mengenai keluarga bermasalah. Setiap tahun rata-rata sekitar 91 % dari jumlah semua jenis perkara.
3
3. Jumlah perkara cerai gugat (permohonan cerai diajukan isteri) setiap tahun selalu lebih besar dari jumlah perkara cerai talak (permohonan cerai diajukan suami). Jumlah cerai gugat dalam 5 tahun terakhir ini, rata-rata 1,5 kali jumlah cerai talak. Ini, secara sederhana, dapat diartikan bahwa pihak isterilah yang lebih banyak sebagai “korban” dalam keluarga bermasalah, sehingga karena pengaruh maraknya sosialisasi persamaan jender, maka pihak isteri tidak segan-segan lagi untuk mengajukan gugat cerai ke pengadilan. Dalam praktek, walaupun dalam perkara gugat talak, yang mengajukan permohonan itu suami, tidak sedikit bahwa penyebab masalah itu justru suami sendiri.
Faktor penyebab perceraian dari keluarga bermasalah bermacam-macam. Sering kali permasalahan dalam keluarga disebabkan tidak oleh satu faktor saja, namun dapat karena 2, 3 atau banyak factor. Untuk mendapatkan gambaran, dari 150.395 perkara perceraian yang diputus oleh PA se Indonesia tahun 2005, dapat dicatat factor-faktor dominan terjadinya perceraian, secara urut, sebagai berikut: (1) Tidak ada keharmonisan sebagai kumulasi berbagai factor, 56.064 perkara, (2) Tidak ada tanggung jawab, 46.723, (3) Ekonomi, 24.251, (4) Gangguan pihak ketiga, 9.071, (5) Moral, 4.916, (6) Cemburu, 4.708, (7) Kawin Paksa, 1.692, (8) Penganiayaan, 916, (9) Poligami tidak sehat, 879, (10) Cacat biologis, 581, (11) Kawin di bawah umur, 284, (12) Politik, 157, (13) Dipidana, 153. Untuk mengklasifikasi faktor-faktor penyebab perceraian tidaklah mudah. Sering kali antara satu faktor dengan factor lainnya sulit dibedakan, atau dapat disatu kelompokkan. Bahkan banyak orang berpendapat, faktor perceraian itu hanyalah satu, yaitu pecahnya hati antara suami isteri (broken marriage). Apapun penyebab masalah, kalau hati tidak pecah, maka perkawinan akan tetap lestari. Disinilah pentingnya penasihatan. Namun demikian, mengetahui faktor-faktor penyebab keretakan rumah tangga secara spesifik sangatlah penting, juga untuk kepentingan penasihatan Berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, penasihatan di pengadilan selalu diusahakan di tiap kali persidangan. Bahkan, pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara pribadi, tidak boleh diwakilkan (UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, pasal 82). Hakim sebelum memeriksa perkaranya lebih lanjut wajib berusaha mendamaikannya, dengan memberi nasihat-nasihat. Namun karena keadaan hubungan suami isteri yang masuk pengadilan sudah sangat parah –hati mereka sudah pecah-, maka usaha penasihatan tidak banyak membawa hasil. Sebagai gambaran, dari perkara yang masuk tahun 2005 sejumlah 175.133, secara nasional, dicabut 9.188 atau sekitar 5 %. Perkara yang dicabut ini pada umumnya karena suami isteri berhasil didamaikan, setelah terlebih dahulu diberikan penasihatan.
4
POLA PENASIHATAN KELUARGA BERMASALAH Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan -biasanya seorang tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan- atau oleh lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majlis hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan. Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun demikian, penasihatan di luar pengadilan sangat tergantung kepada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung kepada tingkat “kewibawaan” para penasihat, baik perorangan maupun lembaga. Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahan tidak dapat dipecahkan dan suami-isteri tidak dapat didamaikan.
Sementara itu, penasihatan di pengadilan sangat dibatasi waktu, tempat dan ketentuan-ketentuan beracara, sehingga permasalahan tidak dapat digali sebanyak permasalahan yang dilakukan pada penasihatan di luar pengadilan. Demikian pula pemecahannyapun. Pendek kata, penasihatan di depan sidang pengadilan lebih banyak untuk memenuhi ketentuan formil dan sangat sulit dapat dikembangkan sebagaimana penasihatan di luar pengadilan. Apa lagi pasangan suami isteri yang datang ke pengadilan, pada umumnya, adalah pasangan yang membawa permasalahan keluarga yang sangat berat, sudah patah arang. Memang demikian, karena sidang pengadilan pada dasarnya bukanlah merupakan lembaga penasihatan, namun ia adalah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, yang dalam kegiatannya berfungsi juga untuk melakukan penasihatan sebelum memeriksa lebih jauh perkara yang diajukan dan memutus perkara jika tidak ada kesepakatan damai di antara para pihak. Hasil penasihatan –berupa kesepakatan untuk damai atau tidak ada kesepakatan apa-apa- dapat langsung dijadikan dasar oleh majlis hakim untuk melakukan proses hukum selanjutnya: pembuatan akte perdamaian atau pemeriksaan perkara sesuai permohonan atau gugatan.
5
Kelemahan secara keseluruhan dari pola penasihatan yang ada dewasa ini adalah tidak ada keterkaitan hukum yang kuat antara penasihatan di luar dan di dalam pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan bukan atas perintah atau rekomendasi majlis pengadilan. Sehingga hasilnyapun, jika dibawa ke pengadilan, bukan merupakan rekomendasi yang kuat yang langsung dapat diterima oleh majlis hakim. Majlis hakim harus melakukan proses dari awal lagi, walaupun yang berperkara telah melalui proses penasihatan di luar pengadilan. Dengan kata lain, penasihatan-penasihatan di pengadilan tetap dilakukan sesuai hukum acara yang berlaku. Pola penasihatan seperti di atas, tidak menguntungkan kepada pencari keadilan atau kepada sistem penasihatan itu sendiri. Salah satu penyebab dari kelemahan pola selama ini adalah belum ada ketentuan tehnis beracara yang dapat dijadikan pedoman oleh pengadilan, sehingga seringkali terjadi adanya hubungan yang kurang mesra antara Kantor Departemen Agama dengan Pengadilan Agama. Contoh kekurang-mesraan tersebut antara lain akibat adanya perbedaan penafsiran atas Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah Dan Tata Kerja Pengadilan Agama Dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam. Sebagian petugas di Kantor Departemen Agama memandang bahwa berdasarkan peraturan Menteri tersebut, semua pasangan suami-isteri yang akan berperkara di PA harus melalui penasihatan BP4 terlebih dahulu. Demikian pula, perselisihan suami-isteri yang sedang ditangani oleh BP4 hendaknya diselesaikan terlebih dahulu di BP4 sebelum dibawa ke pengadilan. Seakan-akan, kalau belum tuntas di BP4, pasangan suami isteri tidak boleh langsung ke PA. Sementara petugas PA memandang bahwa pengadilan tidak boleh menolak menerima perkara yang menjadi kewenangannya, yang diajukan oleh pencari keadilan, dengan alasan sedang dalam proses penasihatan BP4, sebab hal itu melanggar undang-undang.
Sebenarnya, kalau kedua belah pihak memahami tugas dan kewenangannya masing-masing, serta saling hormat menghormati atas tugas dan kewenangan pihak lainnya, maka “kemesraan” antara dua instansi ini tidak akan terganggu. Bunyi Pasal 28, ayat (3) Peraturan Menteri tersebut adalah: “Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada Badan Penasehatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat, agar kepada suami isteri dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga;” . Ketentuan ini harus difahami bahwa untuk kepentingan suami-isteri yang ditimpa masalah, maka PA dapat meminta bantuan BP4 -bukan suatu kewajiban- untuk menasihati suami isteri tersebut. Dalam praktek, seringkali
6
pencari keadilan langsung mendaftarkan ke PA tanpa melalui BP4, mungkin karena tidak mengetahui adanya BP4 dan manfaat penasihatannya, atau mungkin merasa tidak ada kewajiban untuk mendatangi BP4 terlebih dahulu, atau mungkin merasa kurang ada manfaat dari penasihatan BP4. Pengadilan berdasarkan hukum acara yang berlaku memang tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh pencari keadilan tersebut. Pengadilan setelah tidak berhasil mendamaikan yang berperkara pada sidang pertama, dapat saja, menyarankan agar para pihak mendatangi lembaga konsultasi keluarga, seperti BP4, untuk mendapatkan penasihatan terlebih dahulu sebelum pemeriksaan perkara dilanjutkan. Namun, mungkin selama ini, atas pertimbangan banyak hal, majlis hakim memandang bahwa jika hal itu dilakukan maka proses peradilan yang ditentukan oleh undang-undang harus berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, akan terhambat. Majlis hakim merasa tidak ada kewajiban untuk menyarankan atau memerintahkan agar yang berperkara terlebih dahulu harus ditangani oleh lembaga penasihatan dan sejenisnya. MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF. Memperhatikan pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia yang terjadi selama ini sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pola tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan. Kini, permasalahan tersebut di atas mulai terbuka untuk dapat diatasi. Pola penasihatan di luar pengadilan, yang sama sekali tidak berkaitan dengan pengadilan, dapat terus berlangsung, bahkan ditingkatkan kualitas dan kuantitas penasihatannya. Unsur pokok dan penunjang penasihatan, seperti sumber daya manusia, anggaran, sarana prasarana, metode, pemasyarakatan dan lainnya perlu mendapatkan perhatian dari pihak yang berwenang. Sementara itu, pola penasihatan di dalam pengadilan dapat dikembangkan menjadi pola baru dengan memanfaatkan penasihatan dari luar pengadilan. Dengan kata lain, pola yang mengintegrasikan penasihatan di luar majlis pengadilan ke dalam proses beracara di pengadilan dapat diterapkan dengan menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangannya serta penunjang lainnya yang diperlukan. Pola yang dimaksud adalah penyelesaian perkara melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dapat dijadikan pedoman pengembangan pola penasihatan bagi keluarga bermasalah yang perkaranya masuk ke Pengadilan Agama. Sebetulnya PERMA ini pada
7
dasarnya diperuntukan bagi lingkungan peradilan umum, namun dapat pula dipakai oleh lingkungan peradilan agama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 -PERMA ini terdiri dari 18 pasal- yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: “Apabila dipandang perlu ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, selain dipergunakan dalam lingkungan peradilan umum, dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya”. Kini di lingkungan peradilan agama, sedang terus dikaji pemanfaatan lembaga mediasi ini dan sedang dibahas penyusunan pedoman mediasi, khusus untuk lingkungan peradilan agama. Sebagai gambaran, berikut adalah beberapa catatan atau ketentuan yang diambil dari PERMA tersebut:
1. PERMA ini dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan peradilan yang cepat dan murah serta memberikan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa.
2. Menjadikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama.
3. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
4. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang membantu para pihak menyelesaikan perkaranya. Mediator dapat berasal dari kalangan hakim dan pegawai lainnya pada pengadilan, atau berasal dari luar pengadilan. Untuk menjadi mediator, seseorang harus mendapatkan sertifikat diklat mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
5. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Kewajiban ini disampaikan pada hari sidang pertama. Hakim wajib memberikan penjelasan tentang prosedur dan biaya mediasi.
6. Satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak harus sepakat menunjuk mediator, dari dalam atau luar pengadilan, kalau tidak, ketua majlis berwenang menunjuk mediator. Hakim yang memeriksa suatu perkara dilarang menjadi mediator bagi perkara yang bersangkutan.
7. Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator.
8. Proses mediasi berlangsung paling lama 22 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan mediator.
9. Atas persetujuan para pihak, mediator dapat mengundang ahli dalam bidang tertentu.
10. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, kesepakatan itu harus tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak. Dalam kesepakatan itu harus mencantumkan klausula pencabutan perkara. Pada hari sidang yang ditentukan hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akte perdamaian.
8
11. Jika mediasi gagal memperolah kesepakatan, mediator wajib menyatakannya secara tertulis dan melaporkannya kepada hakim. Lalu hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai Hukum Acara yang berlaku.
12. Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara selanjutnya. Fotokopi dokumen, notulen dan catatan mediator wajib dimusnahkan. Mediator tidak dapat diminta kembali menjadi saksi proses selanjutnya.
13. Tempat mediasi adalah di pengadilan atau tempat lain berdasarkan kesepakatan.
14. Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya. Sedangkan biaya mediator yang bukan hakim ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan, kecuali bagi para pihak yang tidak mampu.
Bagi lingkungan peradilan agama, pada prinsipnya, penerapan mediasi harus dapat diterima dan dikembangkan. Hal ini sangat sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Islam, baik yang tercantum dalam Al Qur’an, Al Hadits maupun tradisi dalam Islam yang memerintahkan untuk mengutamakan perdamaian dan kesepakatan dalam segala hal, kecuali kesepakatan untuk menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Namun dalam penerapannya, perlu diperhatikan dan dibuatkan rambu-rambu agar ada jaminan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, serta untuk mewujudkan rasa keadilan bagi para pihak pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya. Proses penyelesaian perkara keluarga bermasalah melalui perdamaian dengan menerapkan lembaga mediasi, yang ditunjang dengan sistem manajemen yang baik, akan memperoleh hasil yang baik. Penyiapan unsur manajemen, seperti men, money, materials, methods dan lainnya, perlu dilakukan sebaik-baiknya, sehingga sistem baru ini tidak menjadi kontra produktif. Kajian-kajian terhadap sistem ini perlu dilakukan. Memang, di negara maju, seperti di Australia, pemanfaatan lembaga mediasi dalam pola penasihatan dan penyelesaian perkara di Family Court, dinilai berhasil dengan baik. Di sana, perkara-perkara yang masuk ke pengadilan dapat difilter dan diselesaikan melalui lembaga mediasi, sehingga perdamaian dan kesepakatan di antara kedua pihak banyak berhasil diwujudkan, bahkan jumlah perkara yang sampai ke majlis hakim, jauh lebih sedikit dibanding jumlah perkara yang didaftar masuk pengadilan. Namun demikian, sistem di sana belum tentu cocok jika sistem itu diterapkan di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sangat menentukan.
9
PENUTUP Pola baru penasihatan keluarga bermasalah yang dapat dikembangkan di Indonesia perlu terus dikaji dan diuji kehandalannya. Sementara kita menggunakan dan menyempurnakan pola lama, pola baru ini perlu mendapat perhatian yang serius, terutama dari BP4 yang sudah sangat berpengalaman dan dikenal sebagai lembaga penasihatan perkawinan terkemuka di Indonesia. Hakikat dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah apa yang dikehendaki oleh Menteri Agama dan jajarannya sejak sekian puluh tahun yang lalu. Hakikat apa yang dikehendaki adalah bahwa peranan penasihatan yang dilakukan oleh lembaga profesional di luar pengadilan –dalam hal ini BP4- dapat diperbesar, sehingga jumlah keluarga yang pecah dapat diminimalisir sebanyak mungkin. Kini, kemungkinan untuk memberi peran yang lebih besar kepada BP4 dalam penasihatan, pembinaan dan pelestarian perkawinan, khusus bagi pasangan yang telah mengajukan perkaranya ke pengadilan, telah dibuka lebar-lebar oleh Peraturan Mahkamah Agung di atas. Ini merupakan tantangan, sekaligus peluang yang sangat besar bagi BP4. Saran penulis, kiranya tantangan dan peluang ini dapat ditangkap dan ditindak lanjuti –walaupun sudah agak terlambat- dengan mengadakan kontak untuk melakukan dialog, diskusi, dan kajian dengan Mahkamah Agung, khususnya dengan Ketua Muda Agama dan jajaran peradilan agama, sehingga terwujud prosedur mediasi di lingkungan peradilan agama yang dapat membantu penyelesaian perkara keluarga, secara sederhana, cepat dan biaya ringan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Mudah-mudahan makalah sederhana ini ada manfaatnya.
Powered By Blogger